BAGIAN 13

8 3 1
                                    

Evi menggeliat pelan, menguap lantas memejamkan mata. Dia sudah berbaring di kamarnya, dua jam yang lalu sudah di perbolehkan pulang oleh dokter. Teman-temannya masih setia menunggui, lesehan beralaskan karpet bulu milik Puspa. Mereka mengobrol sambil mengunyah cemilan. Di tempatnya Evi tertidur setelah minum obat, selama di Rumah Sakit dia tidak bisa tidur nyenyak. Sebagus apa pun fasilitas Rumah Sakit tetap lebih nyaman kamar kosnya walaupun berantakan dan sempit.

Ruangan 4x4 meter bercat putih, terdapat satu lemari berwarna cokelat dan satu meja belajar di sebelahnya. Barang-barang itu fasilitas yang diberikan oleh pemilik kos, desain lama tetapi masih sangat bagus dan mulus. Yang tak kalah terlihat antik dipan kayu dengan warna yang sama berukir bunga di bagian kepala menjadi tumpuan kasur busa ukuran sedang bersprai biru cerah.

“Jan ini lo beli di mana? Enak,” Puspa mengambil satu bala-bala dari piring lantas mengunyahnya.

“Enggak kayak yang di kantin kampus, ya, Pus.” Ellea ikut mencomot gorengan tersebut bersama lalapan cabai hijau.

“Ho’oh. Lo dapat tempat jajan baru, Jan? Spill ke kita-kita, dong.”

Anjani hanya menoleh sebentar lalu kembali pada ponselnya. Sesekali menempelkan benda itu di telinga kemudian menjauhkan lagi. Tidak peduli dengan dua teman yang berlomba menghabiskan gorengan. Ada yang lebih penting daripada menjawab pertanyaan Puspa.

“Jan!” pekik Puspa tepat di dekat telinga kanan Anjani, sontak saja membuat gadis itu terperanjat. Beruntung ponsel di tangan tidak sampai terhempas.

“Apaan, sih, Pus. Ngagetin tau enggak!” protes Anjani kesal.

“Lo kenapa di tanya diem, aja?”

“Tau, tuh. Sibuk amat sama ponsel, lo nelepon siapa, sih?” Ellea ikut kepo.

Anjani mengusap wajahnya. “Gue nelepon Fina, enggak tersambung. Harusnya dia udah sampe rumahnya di kampung, tapi, kok enggak ngabarin ke kita.”

Sambil membuka kaleng minuman Puspa mendehem. “Jan?”

Cewek berkaus hitam itu mendongak.

“Lo, kan tau di kampungnya Fina susah signal. Lagian itu anak udah gede balik ke rumah orang tuanya. Kenapa lo yang khawatir?” Puspa mengangkat kaleng kemudian meneguk air bersoda tersebut.

“Bukan gitu … gue cuma penasaran, Fina udah sampe rumah apa belum. Bisa, aja di jalan dia …. “

“Di jalan dia kenapa?”

Anjani mendadak diam lantas menggeleng. “Enggak, intinya gue pengen tahu dia udah sampe atau belum.”

Ellea dan Puspa saling pandang lantas Ellea menggeleng, merasa ada yang berbeda dengan salah satu temannya.

“Gue perhatiin akhir-akhir ini lo aneh, Jan. Kemaren tiba-tiba menghindar dari kita, terus sekarang cemas berlebihan. Lo sakit?”

Anjani langsung menggeleng cepat. “Gue sehat.”

“Tapi lo aneh!” timpal Puspa, menatap dengan kening berkerut membuat kedua kelopak matanya menyipit.

Aneh, apakah aneh jika Anjani menghawatirkan keselamatan Fina? Fina seorang sahabat yang sudah di anggap sebagai saudara, yang selama ini menjadi tempat bercerita banyak hal. Anjani tahu kondisi kampung Fina, tetapi dia sudah menghubungi sejak tadi pagi tak satu pun yang berhasil tersambung.

“Udahlah, lo jangan terlalu parno gitu, Jan. Nih, dari pada gabut gue punya informasi penting.”

Ellea mengangkat ponsel yang dari tadi tergeletak di lantai. Sesaat mencari sesuatu kemudian menyodorkan ponsel tersebut pada kedua temannya.

“Gimana kalian tertarik?” tanyanya kemudian.

“Event menulis novel genre thriller.” Puspa dan Anjani membaca bersamaan.

“Iya, hadiahnya besar itu kalo menang.”

“Thriller bukan bidang gue, kalo horor sih, ayok,” ucap Puspa lesu.

“Enggak ada yang larang kalo lo pengen coba.”

“Hmmm … iya, sih. Lo sendiri mau ikut lomba itu?”

Ellea mengangguk, tangannya terulur menerima ponsel yang dikembalikan oleh Anjani. “Iya. Coba-coba, aja. Kalo menang beruntung, kalo kalah, ya siap terima nasib.”

Puspa hanya tertawa kecil mendengar itu. Lantas kembali sibuk dengan pisang goreng, risoles dan bala-bala yang masih tersisa. Gadis bertubuh kecil itu fokus untuk melahap semua gorengan tersebut. Ya, walaupun posturnya yang paling mungil kalau masalah makanan Puspa memang selalu jadi yang nomor satu.

“Lo ikut juga, kan, Jan?”

Anjani terdiam sejenak. Menatap bulu-bulu halus berwarna coklat yang dijadikan alas mereka duduk. Dia sebenarnya tertarik untuk turut serta menjadi peserta lomba, tetapi ada satu hal yang membuatnya ragu. Bagaimana jika abangnya tahu?

“Gue belum pernah nulis thriller, enggak paham sama alurnya,” tanggapnya pelan. “Belum siap buat ikut lomba kayak gitu.”

“Hei, Jan. Gue tau banget buku-buku bacaan lo, dan novel yang sering lo pinjem di perpus. Bohong banget kalo lo bilang enggak paham alurnya.”

“Ho’oh. Jani mah ahlinya,” cetus Puspa menimpali ucapan Ellea.

“Tapi—“

“Ayolah, Jan. Sekali-kali lo unjuk kebolehan, tulisan lo itu keren tau enggak. Sayang kalo cuma lo simpan di draft, doang. Lagian ini lomba gratis, kalo menang malah kita di bayar.”

“Bener, tuh kata Ellea. Sebuah karya enggak akan ketahuan bagus atau jelek sebelum diciptakan. Lo ikut, aja mana tau selain menang juga bisa ketemu jodoh.”

Ellea melempar bungkus cemilan tepat mengenai hidung Puspa. “Gue serius!”

Puspa melotot tidak terima hidung peseknya menjadi tempat mendarat lemparan Ellea. “Gue juga serius. Di pengumumannya tertulis; peserta akan mendapatkan jodoh jika beruntung!”

Anjani membeku. Dia tidak berminat untuk ikut membuat lelucon. Membiarkan saja dua sahabatnya perang mulut, dia kembali menekuri layar ponsel.

HAREMWhere stories live. Discover now