39. Tears

6.7K 1.1K 52
                                    

Tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun sepanjang perjalanan. Kami sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Suara deru napasku yang tidak beraturan membunuh keheningan, bersahutan dengan suara jemari Dicky yang terus mengetuk-ngetuk kemudi dengan cemas.

Letak pantai yang kami kunjung ini di Gunung Kidul. Yang mana, jalanannya naik-turun dan berkelok-kelok. Sesekali kami juga harus melewati jalanan rusak atau sempit yang menyulitkan pengendara mobil. Makanya Dicky tidak bisa melajukan mobilnya dengan lebih kencang.

Sejujurnya aku juga takut kenapa-napa kalau Dicky terlalu ngebut. Namun, melihat tampangnya yang sangat cemas, aku tidak tahu harus menenangkan dia bagaimana, sementara aku sendiri juga tidak tahu bagaimana cara menenangkan diriku sendiri.

Berbagai pikiran buruk tentang kemungkinan macam-macam silih berganti memenuhi otakku. Dadaku terasa sesak. Penuh emosi, kesedihan, juga kecewa. Semuanya bercampur aduk sehingga aku kesulitan mendeskripsikannya satu per satu.

Tadi aku sudah sempat berbalas pesan dengan Mbak Agnes, untuk menanyakan detail kondisi Ibu, selagi kami dalam perjalanan. Aku pikir, Ibu kecelakaan, atau semacamnya.

Namun, jawaban Mbak Agnes membuat emosiku meledak.

Ibu sakit gagal ginjal kronis. Penyakit yang disebabkan oleh kerusakan fungsi ginjal dalam menyaring kotoran. Itu bukan jenis penyakit yang dapat muncul secara tiba-tiba. Artinya, selama beberapa waktu terakhir, Ibu pasti sudah menderitanya, dan aku tidak tahu sama sekali.

Amarahku semakin menyesaki dada saat membaca artikel di internet yang menuliskan bahwa penyakit gagal ginjal dapat disebut kronis itu jika sudah diderita selama lebih dari 3 bulan. Dan selama itu juga penderitanya harus rajin cuci darah untuk membantu kinerja ginjal yang tidak berfungsi dengan baik.

Lalu, ke mana saja aku selama ini? Bisa-bisanya aku tidak tahu kalau Ibu sedang sakit, sementara kami tinggal serumah.

Air mataku mulai mengalir. Kekecewaan sekaligus amarahku semakin besar. Aku marah dan kecewa dengan diriku sendiri. Rasanya aku seperti anak durhaka yang patut dikutuk menjadi batu.

Pantas saja, belakangan ini Ibu mulai jarang mengomeliku karena aku pulang terlambat setengah jam atau kadang lebih. Ibu juga seperti benar-benar langsung mempercayakan aku pada Pak Jono, tanpa ikut memperhatikanku lagi. Dan sekarang, aku baru sadar bahwa belakangan ini Ibu memang sering pulang malam.

Namun, tidak pernah terbesit di otakku bahwa itu semua karena Ibu sakit dan harus cuci darah. Aku benar-benar merasa sangat tolol sekarang.

Dicky hanya menoleh sekilas ketika tangisku semakin kencang. Lalu mengulurkan tangan untuk menggenggam jemariku, seakan berusaha menyalurkan kekuatan.

Di saat mobil Dicky mulai memasuki area perkotaan, barulah ia bisa melaju kencang. Sepanjang jalan, aku terus berdoa, agar masih dapat diberikan waktu lebih panjang bersama Ibu.

Meski selama ini aku sering mengomel karena seseret aturan Ibu, tetap saja itu tidak mengurangi rasa sayangku pada Ibu. Ibu adalah wanita terkuat yang pernah kukenal, karena selama ini bisa tetap mengajar, kuliah S3, mengurusku dan Mbak Agnes, juga memenuhi seluruh kebutuhan kami sendirian. Tanpa bantuan siapa pun.

Dan aku belum siap kalau harus kehilangan Ibu.

Di saat air mataku mulai kering, dan aku sudah kehabisan tenaga, aku kembali berseluncur di jendela pencarian Google untuk mempelajari penyakit Ibu.

Sayangnya, itu bukan pilihan yang bagus, karena seisi Google malah menampilkan berbagai kemungkinan buruk yang membuat kecemasanku semakin menjadi-jadi.

Bahkan aku sampai mengecek prosedur dan persyaratan untuk transplantasi ginjal, jika itu memang diperlukan. Tentu aku siap 100% mendonorkan satu ginjalku untuk Ibu jika ginjal kami cocok.

Heartbreak Girl (COMPLETED)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz