Prolog

26 5 0
                                    


☕☕

"Gam jangan terlalu dingin dong, gue gampang pilek nih," Arimbi menatap lekat mata indah Gamar.

Suasana Kota Lama saat ini tergolong sepi pengunjung. Hanya orang-orang kurang kerjaan yang masih berlalu-lalang ditengah kesibukan ujian akhir semester seperti saat ini. Ya, Arimbi dan Gamar adalah salah satu dari golongan orang kurang kerjaan.

"Udah tau gampang pilek masih aja suka yang dingin," Gamar melirik sebuah gelas plastik yang bertengger manis pada genggaman gadis manis di depannya itu.

"Harusnya lo cari yang lebih hangat Rim."

"Lo bener Gam, harusnya gue cari matahari disaat hujan bukan malah ngejar bongkahan es yang dari awal gue sendiri yakin ngga akan pernah bisa gue cairin," Arimbi mengalihkan pandangannya pada langit mendung di atas Kota Semarang yang akhir-akhir ini terasa membakar kulit.

Gamar bukannya tidak peka, dia tahu betul apa maksud dari perkataan Arimbi barusan. Dia hanya tak ingin Arimbi menyesali pilihannya ketika sudah mulai masuk ke dalam lingkup kehidupan Gamar yang jauh dari kata menyenangkan.

Apa Gamar tidak menyimpan rasa pada gadis manis di depannya ini? jawabannya adalah salah. Kalau boleh jujur Gamar sangat menyukai Arimbi. Senyum cerah yang selalu dia tunjukan, rambut hitam lurus sebahu, mata indah yang selalu menatapnya dengan riang, alis tebal yang menyatu ketika marah, bulu mata lentik, hidung tidak terlalu mancung, rahang tegas, serta kulit sawo matang yang membuat Arimbi 100% terlihat sangat manis di mata Gamar.

Huft, Arimbi membuang nafas kasar. Berharap perasaan yang dia simpan beberapa bulan terakhir ikut menguap di udara.

Gamar tersadar dari lamunan, dilihatnya jam tangan usang pemberian ibunya di pergelangan tangan. Alisnya berkerut ketika menyadari bahwa mereka telah menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk sekedar duduk di bangku itu.

"Makin malam udaranya makin dingin, gue yakin baju yang lo pakai ngga bisa menghalangi hawa dingin di sini," keduanya beradu pandang di bawah sinar lampu remang khas Kota Lama.

"Ayo pulang, gue ngga mau besok lo izin ngga masuk sekolah karena pilek" Gamar menggandeng tangan Arimbi agar mengikuti langkahnya menuju parkiran tempat mereka menitipkan motor.

Arimbi melirik tautan tangan mereka, hangat, itu yang dia rasakan. Bukan hanya jarinya yang terasa hangat, tapi pipi, telinga dan hatinya pun ikut menghangat.

"Gam, menurut lo, gue bisa nyairin bongkahan es itu ngga?"

"Ga ada yang tau di masa depan nanti kita seperti apa Rim, jalanin aja apa yang terjadi saat ini."

Sebut saja Gamar orang yang egois, dia tak akan mengelak. Karena itu benar, Gamar tidak ingin mengikat Arimbi pada sebuah hubungan akan tetapi Gamar juga tidak ingin Arimbi menjauh darinya.

Di sisi lain, Arimbi mulai merasa usahanya untuk mendekati Gamar sia sia. Nyatanya Gamar terlihat tidak tertarik memiliki hubungan dengan Arimbi. Tapi ketika Arimbi mencoba menjauh Gamar seolah-olah menariknya untuk kembali berusaha mengambil hati Gamar.

Seklebat bayangan Risang menghampiri pikiran Arimbi. Dia mulai menimbang pilihannya, apa lebih baik dia menyerah untuk mengejar Gamar dan mulai membuka hati untuk Risang saja atau tetap pada pilihan awal, mencairkan bongkahan es pada dinding hati Gamar.

**

Hai guys,
Ini cerita pertama gue, semoga diantara banyaknya pengguna Wattpad ada yang mampir dan berkenan membaca cerita gue.

Sebagai penulis amatir gue minta kritik dan saran yang membangun dari kalian.

Salam manis dari Arimbi buat kalian semua para readers.

8 Juni 2022,
Erlina Gustin.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 04, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Gamara AbinawaWhere stories live. Discover now