2 - baik-baik saja untuk makan malam

104 29 21
                                    

"Tuan muda, sudah waktunya makan malam" ucap suara khas butler nya itu.

Zane mengedipkan mata, tidurnya tidak nyenyak sama sekali. Entah karena terlalu banyak fikiran atau sakit kepala yang terus-terusan datang.

Tubuhnya terasa begitu berat untuk digerakkan.

"..apakah.. aku bisa tidak hadir untuk acara makan malam hari ini?" Tanyanya pada sang butler.

Belum Sempat Dillon menjawab, suara baritone terpantul dalam kamar gelap milik Zane.

"Bukankah kau terlalu terbuka? Menunjukan keengganan mu untuk bergabung bersama keluarga, jika ada gosip bodoh yang terdengar, nama baik keluarga kita akan tercemar." Ucap Suara itu.

Kepala Zane masih terasa sangat nyeri, ditambah harus memikirkan nasib sebuah 'keluarga' yang baru saja menjadi keluarganya itu hanya membuat kepalanya semakin berat.

"Ah, begitukah? Aku fikir tidak hadir dalam acara seperti ini sesekali seharusnya bukan masalah besar.. bukankah di hari aku menginjak umur dewasa bahkan ayah tidak datang?" Jawab Zane sambil masih memijat pelipis nya.

Dia dapat merasakan figur di depannya tersentak mendengar jawabannya, mata Zane bertemu dengan mata Dillon yang juga menatapnya dengan wajah tidak percaya.

Oh sh*t.

Kok aku ngomong kaya gitu-

"Tuan Aldwyn, sebenarnya-" ucapan Dillon dihentikan oleh Aldwyn, seringai getir terlukis di wajah sang anak pertama di rumah ini.

"Kelihatannya kau cukup sehat untuk membalas ucapanku, kalau begitu aku yakin tak ada kendala untukmu bergabung di makan malam hari ini?" Ucapnya lagi. Manik nya menatap Zane dengan dingin.

Namun entah karena kebiasaan 'Khai' yang selalu berusaha membaca reaksi orang, ia mendapati emosi yang lebih dari sekedar tatapan dingin.

Ia menggelengkan kepalanya, tawa kecil keluar dari bibir pucatnya.

Untuk apa aku memikirkan hal itu.

"Jika kakakku bilang begitu, siapa aku untuk mengabaikan perintah ini. Dillon, siapkan pakaianku. " Ucapnya yang disambut dengan jawaban afirmatif dari Dillon.

Zane tersenyum, "kalau begitu, kakak, aku akan segera ke ruang makan segera setelah aku bersiap." Ucapnya sambil tersenyum simpul.

Lagi, Aldwyn membuat ekspresi yang cukup mengejutkan baginya. Namun wajah datarnya dengan cepat terpasang kembali dan ia dengan sigap meninggalkan ruangan Zane.

Sebenarnya dalam tidurnya, Zane mendapatkan memori tentang pemilik tubuh aslinya yang tak pernah tertulis di novelnya.

Bagaimana Zane selalu sendirian, menghabiskan waktunya dengan selalu dianggap tiada. Bahkan upacara kedewasaan yang begitu penting bagi para bangsawan saja hanya dihadiri oleh beberapa bangsawan bawahan keluarga marquess, dan saudaranya. Dan disitu juga bukan ucapan selamat yang ia terima melainkan desas desus penuh sindiran tentang bagaimana 'anak yang tidak sempurna' berani merayakan hari kedewasaannya.

Mungkin karena sekarang ia tinggal di tubuh ini makanya ia bersimpati kepada pemilik aslinya?

Ia berdiri, Dillon hendak membantunya mengganti pakaian namun Zane memberi isyarat untuk berhenti.

"Biarkan aku melakukannya sendiri." Ucapnya. Dillon mengangguk dengan sopan sebelum mundur beberapa langkah untuk memberi Zane ruang.

Helaan nafas panjang keluar dari mulutnya seraya ia menyisir surai putih nya dengan jari jemarinya kebelakang. Maniknya kini menatap refleksinya.

Seberat apapun kehidupanku di dunia modern, jika dibandingkan disini…

Huff, kangen secercah teknologi yang disebut ponsel dan internet. batinnya pasrah.

"Aku sudah siap, antar aku ke tempat berkumpul." Ucapnya pada sang butler yang lagi, disambut oleh anggukan.

.

.

Pintu besar itu terbuka, menampilkan beberapa orang yang sudah duduk rapi di sana. 

Zane terdiam, maniknya bertemu dengan manik Aldwyn, juga bertemu dengan tatapan sang ayah yang menatapnya dengan dingin. 

"Maafkan keterlambatan ku, kondisiku sedang tidak prima tadi." Ucapnya sedikit menundukkan tubuhnya untuk menunjukan sopan santunnya. 

Kontras dengan permintaan maaf darinya, raut wajahnya tidak menunjukan rasa bersalah sedikitpun.  

Karena untuk apa ia merasa bersalah? Toh masuk ke tubuh orang lain dan mengalami rasa sakit yang parah secara tiba-tiba dan juga bertemu dengan tatapan dan perkataan yang tajam bukanlah keinginannya. 

"Begitukah? Namun syukurlah, dengan kau berada disini sekarang berartikan bahwa kondisimu cukup prima." Jawab sang marquess dengan dingin.

Pantes anakmu jadi villain pak. Mulutmu itu lho- 

Zane menghela nafas sambil tersenyum, ia duduk di seberang kursi Aldwyn. 

Ia memotong daging steak yang sudah dihidangkan untuknya, saat menjadi Khai, ia kurang lebih mengerti etika dasar dari berbagai hal. Itu karena keluarganya yang juga menjunjung tinggi harga diri dan nama baik keluarga. 

Entah karena kehadiran banyak orang, atau karena ia makan saat kondisinya sedang tidak baik, atau karena tekanan dari kakak dan ayahnya juga tiga orang adik yang menatapnya dengan intens.. 

Tubuhnya terasa tidak baik. 

Kepalanya terasa tertusuk, tangannya gemetar dan membuatnya menjatuhkan pisau makannya. 

Oh tentu saja, hal itu mengundang atensi semua orang yang berada di ruang makan.

"Apa guru etika tidak mengajarimu dengan ben-" ucapan sang Ayah terhenti ketika melihat darah yang berusaha Zane tahan dengan tangannya. 

Mulutnya mengeluarkan banyak darah, itu menodai pakaian Zane. Untung saja refleks nya yang cukup cepat membuat taplak meja nya tidak ikut ternoda.

"Tuan muda!" Seru Dillon yang awalnya hanya berdiri menunggu di dekat pintu. Ia menghampiri Zane dengan tergesa-gesa. 

"Ah.. sepertinya aku mengacaukan acara makan malamnya.. untuk itu aku benar-benar minta maaf." ucapnya seraya ia berusaha meraup angin hanya untuk membuat kesadarannya tetap bertahan. 

Suara dari sang kakak, adik ataupun sang marquess terdengar samar. Ia tak mengerti apa yang mereka ucapkan. 

Tubuhnya terjatuh lemas ke depan, sampai ia merasa ada tangan yang menopangnya sebelum wajahnya sempat mendarat duluan ke hidangan makan malam.

// Author's note //

Hi! Semoga kalian suka sama cerita ini yaa!

The White Haired HypocriteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang