23. Bebek

2.2K 276 17
                                    

Menghela napas kasar sambil mengacak rambut penuh risau, Nial beberapa kali membenturkan kepalanya ke dinding lift. Setelah memberikan ciuman kepada Ilen, ia segera angkat kaki dari ruangannya.

Nial berusaha tersadar dari kekesalannya akan diri sendiri, lalu menekan tombol lift agar ia segera pergi dari lantai tersebut.

Namun, satu kaki terbalut sepatu hak warna hitam, kini membuat lift yang tadinya akan tertutup menjadi terbuka kembali. Ilen, perempuan itu datang dengan napas terengah-engah, seperti dikejar setan.

Ilen berjalan ke arahnya, lalu dengan cepat memukul kepala Nial dengan tas. Sontak, Nial berteriak kesakitan akibat kebrutalan Ilen.

Menahan tangan Ilen saja tak cukup, karena kini perempuan itu menggunakan kaki untuk melampiaskan kekesalan pada Nial.

Nial seketika melepas tangan Ilen, ia memutuskan lebih baik keluar dari lift sekarang juga. Namun, pintu lift yang sudah tetutup rapat membuatnya pasrah, dan terima saja dengan apa yang Ilen lakukan padanya.

"Lo tinggal bilang kalau Raga datang! Ngapain pake nyium gue segala?" hardik Ilen yang masih saja memukuli Nial.

"Yang minta diselamatin dari Raga siapa? Daripada itu, gue lebih khawatir lo datang ke gue sebagai mata-mata Raga," tuduh Nial.

"Punya bukti, nggak? Nuduh-nuduh."

Sejauh ini, Nial memang tak punya bukti apa pun. Namun, kehadiran Raga secara tiba-tiba membuatnya sempat berpikiran bahwa Ilen punya rencana untuk menjatuhkannya.

"Anterin gue pulang," pinta Ilen, lebih pada perintah.

Nial menoleh ke arah lain. "Lo bisa minta antar Raga."

"Gue maunya pulang bareng lo."

Melirik. "Lo yakin? Gimana kalau gue ngelakuin hal yang nggak pernah lo pikirkan?"

Ilen melirik takut padanya. "Ya, gue tinggal lapor polisi." Sambil mengelus tengkuk tak nyaman.

Selama Ilen menjadi bawahannya, baru kali ini Nial melihat perempuan tersebut takut padanya. Apa karena ciuman tadi?

Nial tak jahat, ia tahu musuhnya sekarang sedang takut. Menyerang Ilen lagi tak akan membuatnya mendapatkan keuntungan. Malah, Nial sekarang sedang menyiapkan diri untuk diceramahi oleh sang kakak.

Daffa pasti sedang mengawasinya lewat CCTV. Nial tak tahu apa yang akan dilakukan oleh Daffa setelah melihatnya berciuman dengan Ilen. Marah? Sudah jelas. Reputasi Nial sedang diperhitungkan sekarang.

Denting lift membuat tatapannya pada Ilen terputus, karena perempuan itu lebih dulu keluar dari lift. Nial mengikuti dari belakang.

Di basemen tersebut, Nial lebih dulu menuju mobilnya, sedang Ilen menunggu untuk diberi tumpangan. Ia ikuti saja permainan yang diinginkan Ilen.

Getar pada ponselnya membuat Nial berhenti melangkah.

"Ibu?" gumam Nial saat membaca layar ponsel. Ya, tumben sekali ibunya menelepon, padahal Nial sudah bilang akan lembur.

"Iya, Bu?"

Suara helaan napas terdengar dari seberang. "Cepat pulang!"

"I-iya, Ibu kenapa?" Harusnya, Nial tak bertanya seperti itu, sudah jelas bahwa sang ibu sedang marah.

"Dibilangin cepat pulang!"

Lagi, Nial kena bentak. "Iya, Bu, tapi Nial nganterin teman dulu."

Tak ada tanggapan dari seberang, panggilan dimatikan secara sepihak oleh sang ibu. Nial jadi bertanya-tanya ada apa sebenarnya?

Pak Bos MantankuWhere stories live. Discover now