35. Ruang yang Sama?

1.8K 163 6
                                    

"Emang mereka berantem hebat, ya, Ma?" Pertanyaan Ilen dijawab dengan anggukan oleh mamanya. "Separah itu efek ketemu mantan istri yang udah lahirin anaknya? Tapi, Nial nggak apa-apa, 'kan?"

Indri menghela napas. "Mama juga nggak tahu pasti, nanti juga kamu ketemu dia di kantor."

Setidaknya, kasih Ilen pencerahan agar ia bisa tahu suasana hati Nial sekarang. Kalau hanya bertemu tanpa tahu situasi, yang ada Ilen garing sendiri.

Ilen melangkah ke arah dispenser, mengambil air untuk diminum.

"Oh ya, Tante Fika nanyain ini ke kamu."

Alis Ilen hampir menyatu. "Apa?" tanya Ilen, lalu meminum air.

"Kamu mau nggak, nikah sama Nial?"

Seketika Ilen menyemburkan keluar air dari mulutnya. Ia tersedak, berkali-kali batuk bahkan air matanya sampai mengalir.

"Tuh, makanya kalau minum jangan sambil berdiri. Kaki kamu pasti dikelitikin setan, jadi keselek, 'kan?" sewot mamanya.

Ilen berusaha mengambil napas, perutnya sakit akibat batuk. Setelah ini, ia harus mengganti bajunya yang sekarang sudah basah.

"Gimana? Kamu mau nggak?" tanya mamanya, Ilen masih belum sanggup menjawab. "Kalau Mama, sih, mau-mau aja. Nial pekerjaannya bagus, dari keluarga baik-baik juga. Mama kenal dekat sama ibunya Nial. Kamu mau nggak?"

Ilen menghela napas, lalu melambai ke arah mamanya. Ia melangkah meninggalkan wanita tersebut.

"Kamu serius nggak mau sama Nial? Nggak bakal nyesel kamu?"

Ilen rasa, ia perlu meluruskan ini. "Mama, aku dan Nial itu cuma temenan, bahkan hampir kayak saudara. Kan, Mama tahu sendiri, aku dan Nial dulu sama-sama dititipin ke oma dan nenek, tanpa orang tua. Bisa dibilang, saudara seperjuangan."

Alasan yang bisa diterima nalar ini baru saja terlintas di kepala Ilen, setelah ia mengenang masa lalunya dengan Nial di Surabaya. Apa yang dirasakannya dulu adalah cinta monyet, rasa yang hanya sesaat saja. Yang ada di hati Ilen sekarang, Nial adalah saudara. Yah, begitulah.

Mamanya  mendekat, Ilen seketika memasang jurus. Ia menatap Indri penuh rasa waspada, terlebih di tangan wanita itu ada spatula yang baru saja dipakai untuk membalik ayam goreng di wajan.

"Mama nggak bakal bisa ubah prinsip Ilen," kata Ilen dengan penuh percaya diri, "ini yang Ilen rasakan."

Mamanya menghela napas. "Kalau itu yang Ilen pikirin, kayaknya Mama nggak bisa ngubah." Ada rasa kecewa di wajah Indri, ucapan yang berbanding terbalik dengan perasaan, "padahal Mama udah seneng kalau misal kamu dan Nial nikah. Keluarga kita, kan, saling kenal, bahkan sama kayak yang kamu bilang, seperti saudara."

"Justru udah kayak saudara itu, Ma, jangan sampai rusak hanya karena Ilen dan Nial berantem." Gotcha! Alasan yang bagus.

Ilen cengengesan. Jika diteruskan, yang ada sesi curhat kali ini berakhir dengan ia yang terlambat masuk kantor. Ilen segera mengucap kata pamit pada mamanya, lalu melangkah menuju kamar.

Hubungannya dengan Nial sudah baik-baik saja, padahal di awal bertemu mereka seperti kucing dan anjing. Ilen kucing dan Nial anjing. Jangan dibuat renggang lagi karena kedua orang tua mereka sok ngide mau jodohin.

_______

Ilen sempat terdiam tatkala melihat Nial yang kini dengan jas rapi berada dalam lift khusus para eksekutif. Nial mempersilakan Ilen untuk naik, padahal ia tak berniat se-lift dengan lelaki itu.

Terlihat seperti sikap yang biasanya, Ilen pikir pertengkaran antar-saudara yang terjadi membuat Nial frustrasi parah.

"Kenapa lo lihatin gue terus?" tanya Nial, wajah Ilen yang polos kini berubah jadi salah tingkah. Tertangkap basah. "Ada sesuatu di muka gue?" Nial memperhatikan wajahnya dari dinding lift belakang Ilen. Sengaja, agar ia sedikit mendekat pada Ilen.

Pak Bos Mantankuحيث تعيش القصص. اكتشف الآن