Chapter 20 : Bagi Rapot

17 5 0
                                    

Chapter 20 : Bagi Rapot

“Abang, jangan digantii!” amuk Cia tetapi tidak diharukan oleh Zidan.

“Ayah, liat abang! Cia mau nonton upin-ipin,” adu Cia pada Ayah.

“Ngalah aja kenapa sih,” kesal Jihan karena Cia tidak berhenti teriak.

Zidan mendelik tidak terima. “Cia mulu yang nonton, gantianlah,” balasnya nyolot.

Remot ditangan Zidang langsung diambil oleh Pak Gani, membuat tiga anaknya terdiam. “Udah ributnya?”

Pak Gani menekan tombol off di pinggir layar kecil itu. “Gausah nonton TV semua aja biar adil,” katanya kembali duduk dan membuka aplikasi Facebook yang sempat terhenti.

“Kenapa sih, malem-malem udah ribut aja,” celetuk Bu Miya dari dapur membawa sepiring penuh semangka.

“Cia nih, Bu. Gak mau gantian nonton. Padahal tadi lagi iklan,” adu Zidan.

Cia mencicit kecil. “Tapi kan Cia pengen nonton Upin-Ipin.”

Bu Miya bergabung duduk di ruang tengah. Meletakkan piring di dekat TV agar mudah diambil semua orang.

“Cia, kan filmnya lagi iklan. Gantian dong nontonnya sama abang. Kan kasian Abang dari kemaren gak nonton TV,” ucap Bu Miya memberi pengertian lembut pada Cia.

Cia mengangguk pelan. Kemudian berdiri mengambil remot, memberikannya pada Zidan. “Abang aja yang nonton. Cia mau makan semangka.”

Zidan mencibir kemudian mengambil remot yang diberi Cia, kembali menghidupkan TV. “Abang, bilang apa sama adek?”

Zidan menarik napas singkat kemudian tersenyum manis. “Terima kasih adikku yang cantik. Karena udah cantik, ambilin Abang Zidan semangka juga dong,” ucapnya menyuruh namun berkedok merayu.

Cia balas tersenyum. “Okey, Abang.”

“Dih, sok manis,” ketus Jihan melihat muka Zidan.

“Titisan air comberan komen mulu,” cibir Zidan kecil yang hanya bisa didengar oleh Jihan.

Jihan hanya memutar bola matanya. Tidak mau memperpanjang.

Seperti baisa, setelah makan malam keluarga Pak Gani akan berkumpul di ruang tamu untuk menonton. Tetapi malam ini Jihan terlhat begitu lesu. Entah sudah berapa kali gadis dengan baju tidur berwarna biru itu menghela napas.

Menggulingkan badannya ke sana kemari, mencari PW (Posisi Wenak).

Zidan mengernyit, jadi terganggu mendengar helaan napas kakaknya. “Kakak kenapa, sih? Nih rumah lama-lama bau napas Kakak,” protesnya.

Bu Miya mengangguk setuju. “Kalo ada apa-apa tuh cerita, Kak. Jangan diem aja.”

Jihan menipiskan bibir, memainkan ibu jarinya. “Besok Jihan bagi rapot,” cicitnya pelan.

Zidan mengernyit tak paham. “Terus?”

“Ya Jihan gugup sama hasilnya besok. Gimana kalo nilai Jihan turun?” rengeknya kecil diakhiri helaan napas lagi.

Bu Miya menggelengkan kepala melihat putrinya. Walau bukan pertama kali Jihan bersikap seperti ini. Tetapi Bu Miya tetap saja merasa khawatir dengan anak gadisnya. Jihan terlalu memikirkan hal yang tidak bisa dirinya atur.

Memang sebagai orang tua, Bu Miya bangga mempunyai anak yang rajin seperti Jihan, tetapi di lain sisi, Bu Miya khawatir Jihan akan depresi jika Jihan sampai terobsesi menjadi yang pertama. Bu Miya hanya takut karena terlalu sering menang Jihan jadi tidak mau menerima kekalahan.

Unconditional Positive Regard (END)Where stories live. Discover now