Chapter 24: Jatuh Cinta?

18 3 0
                                    


Chapter 24: Jatuh Cinta?


Jihan menidurkan diri di atas ranjangnya. Dengan kedua tangan teracung di depan wajah melihat foto dari layar smartphonenya. Ia tak hentinya tersenyum. Berkali-kali –entah sudah keberapa ribu kalinya- terus saja melihat dan memperbesar foto tersebut. Foto yang menampilkan dirinya dan Nadhif yang berdiri bersampingan dengan latar belakang rak buku. Seperti pasangan remaja yang baru mengenal asmara.

Masih malu-malu.

Nadhif terlihat berbeda siang tadi, sikapnya terasa lebih peduli dan makin ... ganteng?

Jihan menggelengkan kepala. Geli sendiri. Tetapi kembali menarik bibir bahagia. Ada dimana mereka sedang berada di lorong rak buku yang sepi berdua dan tiba-tiba Nadhif mengajak Jihan foto menggunakan kamera depan dengan susunan buku yang menjadi penyangga hape untuk mereka berfoto. Mereka masih terlau malu untuk memita bantuan orang lain. Jihan malah tertawa melihat ekspresi wajah Nadhif yang dibuat lucu ketika gambar diambil.

Atau juga ketika di motor, Nadhif yang bercerita tiada henti dan Jihan yang selalu berusaha mendekatkan mendekatkan kepalanya agar bisa mendengar suara Nadhif dengan jelas. Sesekali tertawa lepas karena sama-sama merasa bodoh akan sesuatu dan makan ice cream di taman kota.

Tiba-tiba Jihan melompat-lompat di kasur kegirangan, kemudian menutup kedua wajahnya yang memerah sejak mendengar ucapan murahan Nadhif siang tadi.

"Woi, psstt! Woi!" bisik Nadhif keras di samping Jihan.

Jihan menoleh kaget. "Apasih bisik-bisik. Gue punya nama, wai woi wai woi," balasnnya jadi menggosok pelan daun telinganya.

Nadhif tersenyum lebar melihat respon Jihan. Kemudian bersandar pada pohon tua besar dipinggir taman. Menikmati hembusan angin. Lebih tepatnya memandangi gadis bermata bulat yang sedang mengambil beberapa gambar untuk dibuat story WA ini.

"Ji, Jihan."

"Hmm."

"Jihan Najla."

"Apa," balas Jihan masih lembut dan sabar.

"Sayang," kata Nadhif sangat pelan, mungkin hanya daun jatuh yang bisa mendengarnya. Pemuda itu jadi tersipu malu sendiri menyadari kelakuannya.

Ia kembali berdehem. "Han," panggilnya lagi berusaha memanjangkan kaki agar bisa menyenggol kaki Jihan.

"NGAPASIH DHIF? APA KENAPA? ADA APAA??"

"HAHAHA, muka lu biasa aja woi. Mata lo dah kaya mau lepas."

Jihan menghela napas sabar. "Jangan ngancurin mood gua dah, Dhif."

"Bahagia kan lu jalan ama gue?"

Jihan mengernyit. "Dih, pede lu," balasnya cepat kemudian memalingkan wajah, tidak mau ketahuan salah tingkah.

Nadhif mengulum bibir ke dalam. "Jujur aja kali, gue emang bikin nyaman banget sih orangnya."

"Kaca di rumah kurang gede apa gimana pak? Ngaca dulu deh."

"Iya, gue ganteng. Makasih." Jihan melemparkan beberapa daun ke tubuh Nadhif. Kesal mendengar jawaban pemuda itu.

Jihan berpindah, jadi duduk di samping Nadhif, ikut meluruskan kakinya.

"Kalo aja gue gak manggil lo tukang nguping, mungkin kita gak bisa akrab kaya sekarang."

Jihan menoleh pada Nadhif, menunggu kelanjutan pemuda tinggi ini.

Unconditional Positive Regard (END)Onde histórias criam vida. Descubra agora