Jam sudah menunjukkan pukul 9. Masih dengan satu kaki yang menangkring pada senderan kursi sofa. Gaya tidur mereka semua memang kacau. Seperti Jennie yang menutup seluruh tubuhnya dengan selimut sepanjang malam.
Lia yang memeluk bantal kepala milik Ethan. Vano yang merebahkan kepalanya di lantai dengan kakinya diatas. Dan terakhir Ethan, matanya mulai terbuka sipit, memandang sekitar.
Rasanya seperti ada yang menahan kelopak matanya sejak siuman (dari tidur).
"Woi!" Vano menerima pukulan di kakinya berulang kali. "Geser, gue mau bangun."
"Sabar ah, napa sih."
Satu-satu bangun dengan keributan kecil yang dibuat dua kaum adam.
"LO BINTITAN?! TAI NGAKAK"
"ANJ━"
"Eh ngomongnya━ Jen, liat tuh cowok lo, Jen."
Masih menatap Ethan dengan penuh tawa. Ethan menyerang Vano, mengunci lehernya dengan pelukan keras di leher temannya itu.
"Li, bawa pembalut?" bisik Jennie.
"Lo dapet? Sekarang banget?! Nanti lo tampil dance kan hari ini closing day."
"Udah sering kalo gini, masalahnya jerawat."
Lia mencari pocket miliknya di dalam tas, mengeluarkan satu-satu barang sampai akhirnya ketemu. "Nih."
━
Ethan lihat semuanya. Seperti transaksi narkoba yang diam-diam diberikan pada Jennie, Ethan tahu bahwa itu merupakan barang yang biasa dipakai perempuan.
Tangan kanannya masih memegang sendok, menempelkannya pada pinggir mata. Sedangkan tangan kiri ia gunakan untuk mengetik.
Rel, bisa ketemu?
Rasanya susah untuk memencet tombol kirim. Mengingat kejadian kemarin, malam itu untuk pertama kalinya setelah 10 tahun lebih Ethan bertemu dengan Farel, adiknya.
"Kirim daripada nyesel," ingatnya dalam hati.
Setelah semuanya selesai dengan persiapan diri masing-masing di pagi hari, Vano dan Ethan memutuskan untuk mencari asupan kopi.
Ethan dengan outer jeans biru terang, kaos putih, topi hitam, serta sepatu nike air force putih. Ia menyusuri tengah kota yang dipenuhi dengan gedung tinggi.
"Bro!" panggil Vano melihat Darren di lokasi sesuai janji.
"Oit!" Darren membalikkan badannya dan langsung melakukan bro fist dengan dua temannya itu.
Bertiga mereka jalan menuju Starbucks melihat toko terdekat. "Closing hari ini dateng kan?" tanya Vano.
"Jangan sok sibuk lo." tambah Ethan.
"Iye, dateng. Eh gue denger-denger Vano udah sama Lia?"
"Liat aja tampangnya songong," sahut Ethan menyenggol Vano terkekeh.
"Masih PDKT lah."
"Bullshit," ledek Ethan sambil masuk antrian.
"Kok lo yang bacot?"
Sambil menceritakan life update bersama Darren, sampailah pada posisi terdepan di kasir.
"Cappuccino satu, green tea latte satu."
"Baik, atas nama?"
"Ethan. Wait― yang green tea latte tolong tulisin 'you did great' ya."
"Gue liat-liat mulai bucin si inisial E ini," ujar Vano ke Darren dengan suara yang kencang sengaja.
Tak ada respon dari yang diledek, Ethan tersenyum kecil dibalik punggungnya membelakangi Vano dan Darren. Gantian memesan, satu per satu nama mereka pun dipanggil.
Pagi hari terasa begitu cepat. Kampus sudah mulai ramai didatangi pengunjung yang menukarkan tiket di akses depan lapangan bersamaan dengan penutupan acara yang sudah berlangsung.
Run down dimulai dengan sapaan MC. Lanjut masuk pada line up artis mulai dari Raisa, Tulus, dan HONNE.
Tepat pada jarak diantara penampilan Raisa dan Tulus, Jennie terlihat masuk dari belakang panggung ke depan dan Ethan baru saja masuk ke bagian penonton. Lagu mulai berputar, perlahan tubuh Jennie mulai mengikuti ketukan sesuai koreografi. Penampilannya ini bukan debutnya di atas panggung, sebagai bagian dari anggota tetap dance club kampus, Jennie sudah beberapa kali tampil.
Masih dengan segelas green tea latte di tangan Ethan, ia memperhatikan Jennie dengan teliti. Matanya tak beralih sedikitpun. Hingga satu panggilan membuyarkannya.
"Kak Ethan?"
"Hi," sapa Ethan ramah sambil sedikit menunduk.
"Can i have a picture with you? I'm a big fan of yours."
"Sure!" Ethan berdiri di samping cewek itu mengarah pada kamera.
Beberapa jepretan sudah diambil, Ethan dengan senang berjalan ke arah lain untuk menghindari kemungkinan beberapa orang datang lagi.
Jennie sudah turun dari panggung, Ethan yang melihatnya cepat-cepat mencari Jennie ke backstage. Masih dengan mic yang menempel pada pipi, Jennie melihat Ethan yang juga menemukan dirinya.
Keduanya mendekat, Ethan akhirnya menyuguhkan minuman di tangannya pada Jennie.
"Buat gue beneran?"
"Minum aja, gue balik dulu ke Indoor Hall dipanggil buat music corner."
"Cih langsung pergi," gumamnya lalu melihat tulisan di gelas. Dua ujung bibirnya terangkat. Tak butuh kata-kata langsung, perlakuan Ethan seperti ini sudah mampu membuat Jennie sadar dia diperhatikan.
Gila gue, batin Jennie menyicip sedikit dari green tea latte itu. Guess the main character has find its prince now?
- press play -
Kalau di belahan area kampus sana lagi karaoke sama Raisa, music corner di Indoor Hall hari ini dibuat seperti nuansa cafe. Mahasiswa dan pengunjung bisa menikmati waktunya dengan sajian makanan elegan diiringi dengan alunan gitar dan vokal live Ethan.
Cahaya lampu kuning kecil menerangi ruangan dari ujung-ujung ruangan. Lampu sorot menyinari Ethan di kursi.
Pikirannya kini tertuju pada Jennie. Menampilkan sosok itu pada gelapnya pandangan saat ia sengaja menutup matanya beberapa menit.
Melihat balik hari-hari indah ini, harapan Jennie di kertas alias bucket list sudah beberapa tercoret. Ethan berhasil.
Tapi Jennie layak gak ya sama gue?
Does she deserves better?
Gue takut dia kecewa.
Matanya perlahan terbuka, lambaian tangan itu ditangkap. Senyumannya begitu cerah. Siapa lagi kalau bukan Jennie.
It's you. Hal-hal kecil yang bikin gue bahagia.
―
Mau konflik gak?
Nanti ya abis ini hehe
thank you buat yang selalu setia vote <3
your support means alot!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bucket List
FanfictionSemua berawal dari ide Jennie yang menawarkan siapapun untuk bisa mewujudkan bucket listnya seperti orang "pacaran" di papan confess. Hanya satu yang bersedia, Ethan Alderick. Laki-laki yang tak pernah akur dengannya kini justru menjadi sosok yang s...