Menyiapkan Alat

64 3 0
                                    

Keesokan pagi mereka memulai aktivitas dengan menyiapkan sarapan, kali ini dengan menu nasi, mie instan, dan makanan kaleng. Tadinya mereka berencana membuat omlet, tetapi ternyata telur yang berada di dalam rumah sudah rusak, padahal masih ada satu rak.

Usai sarapan, Stevan dan Peter kembali mengecek jerigen yang berisi bensin yang ia lihat saat pertama kali mendatangi pulau tersebut. Namun, saat Stevan hendak menggeser jerigan besar itu, ternyata isinya hanya sedikit akibat penguapan. Peter juga membuka penutupnya dan benar itu berisi bensin, tetapi bensinnya sudah tidak dapat digunakan lagi, aromanya pun tercium aneh.

Saat Peter membuka penutup jerigen yang satunya lagi ternyata mulut jerigen itu patah karena rapuh. Ia berinisiatif untuk mengambil sedikit dan membawanya keluar, meletakkan di tempat pembakaran yang sudah padam, memastikan bahan bakar tersebut masih bisa menyala. Dan bersyukur masih bisa terbakar, tetapi tidak seperti bensin yang masih baru. Mungkin karena bahan bakar tersebut sudah lama, bahkan sudah menyusut di dalam jerigen.

“Kadarnya udah berkurang, bahkan aromanya sudah tidak menyengat. Ini kayak bensin oplosan atau karena terlalu lama?” tanya Leo.

“Mungkin karena sudah terlalu lama,” jawab Peter.

“Di speedboat ada minyak tanah tuh, bisa kita pakai sebagian,” usul Leny, mengingat ada bahan bakar cadangan untuk speedboat mereka.

“Di speedboat kita juga ada minya tanah, kalau gak salah juga ada bensin tapi cuma lima liter,” ujar Putra mengingat beberapa jerigen di kabin.

“Nah, kita campur aja kalo gitu, nanti kita siram bergantian di lokasi tempat ular itu,” usul Peter memberikan usul yang langsung disetujui oleh mereka.

“Kalau gitu kita ke speedboat aja dulu, kita persiapkan semuanya hari ini lalu besok pagi kita bergerak ke lokasi,” usul Dion yang sedari tadi hanya diam menyimak obrolan mereka.

Akhirnya mereka ke pantai tempat speedboat berada, tidak lupa Peter membawa jaring untuk menangkap ikan sebagai menu makan siang. Hari ini mereka harus menikmati waktu-waktu menyenangkan sebelum besok melakukan tugas besar yang mempertaruhkan nyawa.

Setelah tiba di pantai, mereka mulai mengecek bahan bakar speedboat dan mengisinya, sisa bahan bakar bakar itulah yang mereka bawa masuk ke hutan. Leo juga mengambil peledak yang hampir mirip seperti bom, jika berada di tempat yang berapi maka benda itu akan meledak karena terbakar. Sehingga Leo sangat menjaga benda tersebut jangan sampai terkena api. Bahkan bahan bakar itu dijauhkan dari benda yang menyerupai bola tersebut.

Setelah semua bahan siap, mereka mulai menangkap ikan-ikan yang berenang di pinggir pantai lalu membawanya ke rumah ulin untuk dioleh menjadi makanan. Mereka juga memetik buah-buahan yang ditemukan saat berjalan.

Cuaca yang cukup terik membuat mereka tertarik dengan buah kelapa yang masih hijau di atas pohon, Stevan memiliki ide untuk mencari pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi dan bisa mengambil buahnya dengan mudah. Ia menyusuri bibir pantai sambil berjalan-jalan menikmati keindahan pulau tersebut bersama Dion. Sementara yang lainnya sudah lebih dulu kembali ke rumah ulin untuk mengolah ikan dan memasak menu lainnya.

Saat Stevan dan Dion tengah asyik berjalan di pinggir pantai, mereka melihat beberapa kepiting berlari memasuki lubang saat keduanya melangkah mendekat, akhirnya Stevan memiliki ide untuk menggali lubang itu menggunakan sebatang kayu. Tidak sia-sia mereka melakukan hal konyol dengan mengejar kepiting hingga ke dalam lubang yang menjadi sarang bagi hewan yang memiliki dua capit.

Kedua pria itu berenti mencari kepiting saat melihat dua pohon kelapa yang tumbuh merunduk ke arah laut, pohon kelapa tersebut memiliki banyak buah. Tanpa berpikir panjang, Stevan memanjat pohon sementara Dion menunggu sambil menikmati hangatnya matahari yang langsung menyentuh kulitnya yang tidak mengenakan baju. Baju kaos yang ia kenakan tadi telah digunakan untuk menampung kepiting agar mudah dibawa.

Stevan mulai memotong satu tandan kelapa menggunakan pisau yang selalu ia bawa kemana-mana selama berada di hutan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Stevan mulai memotong satu tandan kelapa menggunakan pisau yang selalu ia bawa kemana-mana selama berada di hutan. Tanpa bisa ditahan, buah-buahan kelapa itu jatuh ke dalam air. Stevan segera turun dari sana sementara Dion menarik kelapa itu keluar dari air, menariknya hingga ke bibir pantai.

“Makan enak nih hari ini, makan ikar bakar, minumnya air kelapa. Nikmat sekali hidupku,” ujar Dion seraya membayangkan menu untuk makan siang kali ini.

“Jangan lupa kepitingnya dimasak juga,” sambung Stevan.

“Balik yok! Lama-lama makin hitam badanku ini jemuran di pantai,” ajak Dion. “Potong di sini, kita bagi dua bawanya. Berat ini,” sambung Dion menunjuk penyangga kelapa-kelapa yang berjumlah sepuluh buah tersebut.

Stevan kemudian memotong lalu mereka membawanya ke rumah ulin. Di sana sudah ada Leny, Helena, Putra, Leo, dan Peter tengah menyiapkan makanan. Beberapa ikan sudah dibakar bahkan nasi pun telah dihidangkan di atas daun pisang. Sayangnya pisang tersebut tidak bisa dimakan karena hampir keseluruhan buah hanya berisi biji. Biasa orang menyebutnya pisang hutan. Sehingga hanya daunnya yang digunakan sebagai alas.

“Beh, hebat juga kalian bisa manjat kelapa setinggi itu,” ujar Peter saat melihat Dion dan Stevan datang.

“Aku manjatnya di pohon kelapa yang rebah,” ucap Stevan seraya meletakkan kelapa-kelapa yang ia bawa.

“Itu apa di dalam baju?” tanya Helena penasaran dengan isi di dalam baju yang terlihat bergerak-gerak.

“Ini kepiting, mau dimasak apa, nih?” tanya Dion seraya menyodorkan bajunya kepada Leo.

Leo segera mengambil dan mengolah kepiting tersebut, hanya merebusnya saja hingga matang karena kepiting segar lebih nikmat tanpa bumbu.

Beberapa saat kemudian akhirnya menu makan siang tersaji dengan nikmat.

“Kalian simpan di mana bahan bakar sama bom tadi itu? Jangan sampe meledak di sini, bisa wafat semua kita,” tanya Stevan setelah mereka menikmati hidangan makan siang.

“Kita simpan di sana dekat pohon pinus, 200 meter dari sini dan minyak juga kita kasi jarak yang jauh dari bom itu. Bomnya juga masih di dalam tas, kita tutup semuanya pake daun-daun sampe gak keliatan,” jawab Leo seraya menunjuk ke arah temapy dimana mereka meletakkannya meski sebenarnya juga tak terlihat dari tempatnya duduk karena terhalang rumput dan pohon-pohon.

“Semua aman berarti, ya. Besok pagi-pagi kita mulai masuk ke hutan, jangan lupa tandai setiap tempat yang kita lewati, jangan sampe kita nyasar lagi,” ujar Stevan.

“Aman ... itu tugasku, aku juga sudah menyiapkan kain untuk diikatkan ke ranting,” ujar Helena, ia memang sudah menyiapkan tali dari bajunya yang dirobek-robek tadi pagi.

Mereka semua berharap agar rencana mereka berhasil. Meski ada perasaan waspada dalam diri mereka, tetapi menunggu di pondok dan membiarkan para pria ke hutan bukan pilihan yang tepat. Mereka datang bersama-sama jadi harus berjuang bersama-sama pula. Walaupun beberapa teman mereka tewas tanpa menyisakan bukti apapun karena dimakan ular raksasa tersebut.

Ular itu harus mati, ini sebagai bentuk pembalasan dari kami dan juga teruntuk kakakku, batin Stevan.

Bersambung...

The Giant Snake (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang