[13] Tentang Satu Hari

1K 194 13
                                    

Alam semesta itu menyimpan banyak sekali misteri. Namun jika kita mampu memaknai setiap halnya dengan prasangka positif, mungkin itu akan lebih menghibur keresahan hati.

Mungkin kita dapat belajar dari sepotong senja yang rela ditelan malam untuk kemudian memberi kesempatan pada bulan dan ribuan bintang sebagai gantinya. Mungkin juga dari hujan yang rela jatuh berkali-kali pada alam semesta ini, memberi bumi kehidupan walaupun tatkala jatuh, ia harus meresap bersama tanah. Atau juga sebuah lilin yang akan habis dilahap oleh apinya sendiri. Lilin perlahan memang tiada, tapi lilin sempat menjadi sumber cahaya bagi mereka yang membutuhkan eksistensinya.

Lalu, harus bagaimana Lava memaknai kehidupannya saat ini? Layaknya sepotong senja? Atau hujan yang rela jatuh berkali-kali? Atau mungkin lilin yang dilahap habis oleh api?

Lava masih duduk di bangku UKS, menatap Shaga yang masih berbaring dengan mata terpejam. Shaga belum sadarkan diri. Sejurus kemudian, ia dapat melihat butiran keringat mulai menghiasi pelipis Shaga. Lava masih geming, tatapannya masih sama datarnya. Bahkan, Lava sudah seperti orang yang memiliki karakter antagonis di dalam sebuah buku dongeng. Diam sembari memperhatikan orang yang tengah sekarat. Menunggu waktu yang tepat untuk bersorak penuh kemenangan.

Tapi jelas bukan seperti itu karakter Lava di sini. Dia memang menghitung waktu, tapi untuk menunggu Shaga tersadar dan membuka matanya.

Dan benar, sejurus kemudian, Shaga membuka matanya. Reaksinya mungkin persis seperti Lava tadi seusai terbangun dari mimpi buruknya.

"Lo kenapa? Lo mimpiin apa? Apa yang terjadi sebenarnya, Ga? Atau ini karma karena lo nggak mau ngasih tau semua yang terjadi di dunia aneh ini?" Lava mencecar Shaga dengan rentetan pertanyaan. Tatapan Lava datar tapi Shaga dapat melihat ada api yang ia sembunyikan dari balik bola matanya. Lava direndam habis oleh kemarahan.

Dengan begitu saja, Shaga mengambil nafas panjang. Kemudian, Shaga mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Lava. Shaga tampak memijat pelipisnya sebentar, menyembunyikan raut wajah frustasi yang sangat kental itu.

"Ada apa? Ada sesuatu yang aneh?" tanya Shaga.

Lava diam. Menatap Shaga. Hingga tanpa menjawab, Lava langsung berjalan keluar UKS. Melihat itu, Shaga langsung mengejar Lava.

"Lav? Hey! Ada apa?"

Lava terus berjalan. Tak mengindahkan sama sekali teriakan Shaga. Sampai pada akhirnya, ia merasakan tangannya di raih oleh Shaga. Dimana Shaga yang membalikkan badannya untuk menghadap cowok itu.

"Ada apa hm?" tanya Shaga tenang.

Tatapan Lava nyatanya masih setajam sebelumnya. Tapi mempertimbangkan kondisi Shaga yang baru saja pingsan, akhirnya Lava mencoba meredam segenap carut-marut hatinya itu.

"Lo istirahat aja. Kita bahas besok," ucap Lava.

Shaga menggeleng. "Nggak. Kita bahas sekarang."

Lava merotasikan bola matanya. "Apa? Lagian kalo gue tanya lo pasti nggak akan ngasih jawabannya ke gue. Udah besok aja, Ga. Gue juga cape. Lo mendingan istirahat. Muka lo pucet banget."

Seusai mengucapkan itu dengan raut letihnya, Lava melepaskan genggaman tangan Shaga. Namun baru saja membalikan badan, suara Shaga menghentikannya.

"Lav kenapa kamu selalu ngajuin pertanyaan yang sama? Pertanyaan yang jelas-jelas jawabannya ada di kamu sendiri!" ucap Shaga.

Mendengar itu, tiba-tiba saja darah Lava seakan mendidih. Amarah yang tadi sempat bersembunyi, kini langsung menjulang tinggi, meronta ingin di lepaskan.

"Ga, lo mikir dong! Kalo jawabannya ada di gue, nggak mungkin gue ngemis-ngemis jawabannya ke lo! Dan kenapa? Kenapa lo justru nuduh gue! Pasti ada sesuatu yang lo sembunyiin kan dari gue!" ucap Lava dengan nafas yang tak beraturan.

EPOCH [Selesai]✓Where stories live. Discover now