[24] Tidak Berdetak

657 165 42
                                    

Embusan semesta menerpa, selaras dengan langkah kaki yang tiga anak manusia itu ambil. Tidak ada hujan yang memainkan ketiganya. Semesta menarik paksa tangisan bumi, membiarkan malam menaungi resahnya jiwa yang tak pernah mengerti arti dunia ini.

Setiap langkah yang Lava ambil, setiap nafas yang Lava embuskan dan pada genggaman erat tangan Shaga yang membawanya berlari, ternyata tak mampu membuat Lava menepi dari riuhnya isi kepala.

Sampai pada akhirnya, di tengah jalanan yang sepi, dimana tepian jalan hanya di isi pepohonan rindang. Tempat pepohonan berkumpul, meniti tiap lintasan jalan manusia, Lava menghempaskan genggaman tangan Shaga. Ia berhenti, dimana Shaga yang tampak terkejut dan turut menghentikan langkah. Gladia pun sama, ia memilih diam seraya mengatur nafas yang kian tak beraturan.

"Dimana lo sembunyiin jasad Arkan?" tanya Lava.

"Tujuan lo bawa kita lari cuma buat ngalihin perhatian kita kan?" Lava tampak berapi-api.

Lava mendekati Shaga yang masih diam. "Ga? Dimana?!" desak gadis itu.

"Kenapa kalian bisa tau itu darah Arkan?" tanya Shaga.

Lava mengerutkan keningnya. "Maksud lo apa?"

"Ya kenapa kalian bisa yakin itu darah Arkan? Bahkan tadi nggak ada jasad siapa pun kan?"

"Kamu nuduh aku pembunuh di saat aku sendiri nggak tau itu darah siapa. Dan anehnya, yang nuduh aku justru udah tau identitas orang pemilik darah tadi."

Giliran Lava yang bungkam.

Shaga maju selangkah. "Kamu? Pembunuhnya?"

Lava betulan tak percaya dengan ucapan Shaga. "Lo gila?!"

"Mana mungkin gue pembunuhnya! Gue baru datang setelah Gladia bilang..." seakan menyadari sesuatu, Lava memotong ucapannya dan menghadap Gladia.

Maka dengan begitu saja, Lava mendekati Gladia. "Glad, jujur sama gue, ceritain semuanya! Jangan bertele-tele. Situasi kita semua nggak aman! Kita kena kutukan, lo tau itu!" cecar Lava.

"Kutukan?" Gladia tampak terkejut.

Lava mengangguk. "Iya, entar gue jelasin. Sekarang lo ceritain semuanya!" perintahnya.

Gladia membisu. Terlihat jelas, gurat ketakutan di sana. Menyadari hal itu, Lava langsung memegang pundak Gladia dan memberikan tatapan yang meyakinkan Gladia. Hingga setelahnya, Gladia bersuara.

"G-gue sempat bertengkar sama Arkan di apartemen Arkan. Kita bertengkar hebat di sana, Lav. Gue..."

Lava menanti lanjutannya dengan tidak sabaran. "Lanjutin, Glad!" desak Lava.

"G-gue hamil, Lav. Gue hamil anak Arkan."

Nyatanya, kalimat itu berhasil membuat pegangan erat di pundak Gladia mengendur. Lava reflek memundurkan langkah, seraya menatap Gladia dengan tatapan tak percaya.

"Glad?"

Gladia mengangguk dengan air mata yang luruh perlahan. "Iya, Lav. Gue hamil."

Lava langsung mengacak rambutnya kasar. "Ini kacau banget, Glad. Kalian sadar apa yang udah kalian lakuin?!" amarah Lava memuncak.

Lebih dari apapun, Lava sadar amarahnya kini sama sekali tak membantu. Semua sudah terjadi dan situasi semakin rumit. Tapi, Lava merasa perlu mempertanyakan semua yang terjadi. Kekacauan ini, petaka ini dan buku yang sudah mengutuk mereka. Lava marah. Lava marah dengan semua hal yang berhubungan dengan kekacauan di hidupnya. Lava hanya ingin tenang.

Gladia semakin terisak.

Melihat itu, Lava langsung menarik nafas panjang. Meredam emosinya sendiri.

"Oke, kita bahas itu nanti. Sekarang lo ngomong, kenapa Arkan bisa tewas?"

EPOCH [Selesai]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang