[28] Mawar Merah dan Rimbawa

726 149 7
                                    

Instagram : aksaralatte

🌷🌷🌷


Entah kapan terakhir kali, Lava mencium aroma mawar merah yang menguar dalam paru-paru. Lava tak terlalu memperhatikan bagaimana bunga merah itu mulai mekar, bahkan ada beberapa tepian bunga yang sudah memudar, menandakan masa mereka hampir berakhir. Mungkin hanya perlu menunggu hari, kelopak layu itu jatuh satu persatu meninggalkan tangkainya dan memendam segenap harum bersama tanah kering.

Bagaimana mungkin pikiran itu muncul kala Lava tanpa sengaja mencabut kelopak mawar, akan beginikah Shaga berakhir? Mawar merah ini memiliki pesona yang kuat, warna yang pemberani dan kelopak bak mahkota yang merajakan pesona. Shaga memiliki aura kuat dan memikat, ia mekar bersamaan dengan musim yang telah dibumbui berbagai rasa. Mungkin layaknya musim yang menghinggapi, Shaga telah mekar dengan sempurna, sesekali serangga bahkan mendekat guna menabur sedikit rasa agar ia lebih memaknai sedikit sakit yang diperoleh. Setelah selesai pada harum dan mekar yang sempurna, dia jatuh pada tepian sebuah akhir. Dia perlu layu dan melebur bersama butiran tanah kering yang entah kapan pastinya. Yang jelas musim itu akan tergantikan dengan musim mekar yang baru.

Lava tidak benar-benar menjadikan mawar itu sebagai alat untuk menghanguskan binar seri kala menanti kedatangan Shaga. Pagi ini, Shaga berniat membawa Lava pergi, entah sekedar memakan es krim, meniti jalanan setapak yang bersebrangan dengan jalur kereta api atau mungkin melakukan segalanya hari ini dan berakhir menikmati secangkir teh di rumah Shaga.

Namun siapa sangka, semerbak yang awalnya ia hirup kuat-kuat nyatanya mengulitinya dari dalam secara perlahan. Lava habis ditelan ketakutan-ketakutan yang nyatanya sudah dirinya bangun jauh sebelum mawar itu mekar. Sebab terkadang, Lava hanya menekan sedikit takut itu agar hari yang dilewati terbebas dari sesak. Walau Lava sendiri tau, usahanya hanya akan berakhir sia-sia dan tubuh lelahnya terkulai begitu saja, persis seperti dirinya yang seringkali menghabiskan waktu di atas meja belajar hanya untuk memikirkan spekulai-spekulasi menakutkan.

Ini racun, Lava selalu menyadari bahwa terlalu larut dengan ketakutan-ketakutan yang sebenarnya belum terjadi atau bahkan tidak akan terjadi adalah seni pembunuhan yang tak kasat mata namun mutlak. Membunuh mental, membunuh semangat dan membunuh waras yang diwaraskan mati-matian. Semua berakhir sia-sia.

Jadi terkadang Lava membiarkan dirinya lelah terbakar spekulasi menakutkan. Atau mungkin membiarkan semua itu mengalir begitu saja seperti satu kelopak mawar yang runtuh itu Lava biarkan tergeletak di atas tanah kering. Mungkin dibiarkan mengering begitu saja atau bahkan menghilang dibawa angin. Lava membiarkan panas karena isi kepala yang carut marut itu reda tanpa ada obat penawar, layaknya kelopak mawar yang jatuh, sudah sepatutnya ia biarkan sebagaimana mestinya. Merekatkan lagi juga tidak akan mungkin. Jadi, ia biarkan mawar dan pikiran yang berantakan itu terkulai begitu saja. Meski itu akan sangat melelahkan.

Masih ada mawar merah yang bertahan di tangkai berdurinya, dan sudah sepatutnya mawar itu menyebarkan sudut-sudut halaman dengan keharuman. Meskipun di detik ke tiga Lava menarik sudut-sudut bibirnya tinggi, sebab wangi yang entah sedari kapan menjadi sangat candu dan memabukkan telah memukul telak aroma semerbak mawar merah. Shaga datang.

Pemuda itu ikut menarik kedua sudut bibir, menjadikan hangat mentari seakan mencair karena senyuman hangat Shaga.

Lava sadar, selalu ada celah yang membuat manusia merasa kosong, mungkin seperti gelas yang akan menyediakan ruang untuk air. Gelas tanpa airnya terlihat hampa dan kosong, namun begitu air mengisi penuh gelas maka yang terlihat hanyalah utuh. Lava tak pernah mengira bahwa bersama Shaga akan membuat gelas itu terisi penuh. Merasakan utuh yang selalu Lava syukuri hingga detik ini.

EPOCH [Selesai]✓Where stories live. Discover now