Jisoo mengayunkan langkah kakinya menuju rumah yang terlihat sepi, seolah tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
Satu hal yang biasa iya nikmati dalam hidupnya.Perlahan ia membuka pintu meski dalam keadaan malas, namun seketika matanya membulat sempurna menatap sang pria yang tengah terduduk angkuh di atas sofa single, dengan tatapan yang terasa menghunus kearahnya, nampaknya sejak tadi Jisoo tak menyadari kehadiran mobil sang suami yang sudah terparkir di halaman rumah mereka.
Teringat akan kejadian siang tadi, Jisoo memilih mengabaikan presensi sang pria. Memilih membawa langkahnya untuk berlalu begitu saja, rasanya ia terlalu lelah untuk berdebat saat ini.
Ia hanya butuh tempat untuk merebahkan badannya sedikit menghilangkan lelah yang ia rasakan, lagi pula ia butuh ruang untuk menenangkan diri.Hingga sebuah tangan menariknya kasar, membawa tubuh itu untuk berhadapan dengan pria pemilik bahu lebar tersebut.
Kedua manik mereka bertemu, seketika keberanian Jisoo hilang melebur begitu saja ketika ia melihat bagaimana mata elang milik Seokjin.
"Dari mana saja kau Jisoo?". Tanya sang suami, rahangnya terlihat mengeras dengan wajah memerah menahan amarah.
"Aku pergi belanja, apa itu salah?". Jisoo menjawab setenang mungkin, ia tak ingin terlihat lemah dihadapan lelaki yang akhir-akhir ini banyak menorehkan luka dalam hatinya.
"Sampai menjelang malam?". Sebuah pertanyaan namun terkesan menghakimi.
Bisakah Seokjin bertanya tentang keadaannya terlebih dahulu?"Bukan urusanmu!" Jawabnya tak kalah ketus. Jisoo hendak membalik tubuhnya kembali, namun tangan seokjin lebih dulu menahan pinggangnya agar tetap di tempatnya.
"Aku suamimu Jisoo". Ucap sang suami penuh ketegasan.
Jisoo menyunggingkan senyum meremehkan mengingat potongan kejadian tadi siang, suami macam apa yang baru saja berkencan dengan perempuan lain. Haruskah Jisoo tetap menyebutnya sebagai suami?
"Siapa lelaki itu?" Tanya seokjin kian terdengar marah.
"Aku lelah jin, aku ingin istirahat. Aku tak ingin berdebat denganmu". Jawab Jisoo semakin malas meladeni, karena ia tahu akan menjurus kemana semua ini selain pada pertengkaran diantara mereka.
"Apakah ini kebiasaan mu saat aku tak ada di rumah?, sudah berapa banyak lelaki yang berkencan denganmu Jisoo, apa uang yang aku berikan padamu masih kurang? Hingga kau harus berkencan dengan lelaki kaya lainnya". Lihatlah bagaimana Seokjin menatapnya selama ini, sehina itukah martabatnya sebagai seorang istri? Hingga semudah itu Seokjin melontarkan kalimat yang merendahkan dirinya.
Jisoo menggigit bibir bawahnya kuat, menahan perih di dada mendengar setiap kalimat dari lelaki yang teramat ia cintai.
"Jawab aku Jisoo, jawab!". Bentakan itu terdengar menggelar memecah keheningan, nampaknya seokjin sudah benar-benar tak lagi dapat mengontrol emosinya. Tanpa rasa iba sedikitpun.
Lelaki itu tersenyum remeh memandang wajah wanita di hadapannya yang sudah banjir air mata.
Iya geram karena Jisoo tak kunjung menjawab semua pertanyaannya."Kau lupa Jisoo, siapa kau dulu sebelum aku menikahi mu. Jika aku tak menikahi mu mungkin kau akan menjadi gelandangan atau bahkan menjadi seorang jalang!"
Plak..
Satu tamparan sukses Jisoo daratkan tepat di pipi mulus sang suami, dengan dada yang bergemuruh menahan amarah. Hatinya begitu sakit serasa tertusuk ribuan panah mendengar ucapan seokjin.
"Cukup seokjin cukup. Sudah puas kau hina aku, masih ada lagi? Ayo keluarkan." Ucap Jisoo menantang, dagunya terangkat sedikit menunjukkan keangkuhan.
" Kau benar jin, aku memang bukan siapa-siapa tanpa dirimu. Iya kau benar mungkin tanpamu aku akan menjadi gelandangan. Iya, Aku memang anak yatim piatu yang beruntung dijadikan istri olehmu. Kau benar jin. Tapi satu hal yang harus kau tahu jin, sesulit apapun hidupku, aku tak akan pernah menjajakan diriku sebagai seorang jalang. Kau ingat itu jin, dan terimakasih sudah menyadarkan kembali akan posisiku". Jisoo berucap dengan suara yang bergetar, masih tak menyangka bahwa selama ini Seokjin menatapnya dengan sangat hina.
Tak peduli lagi dengan apa yang akan Seokjin ucapkan, ia lebih memilih beranjak meninggalkan sang suami begitu saja.
Seokjin menendang kasar meja ruang tamu hingga kaca meja itu pecah dan berserakan. Lelaki itu meremas rambutnya kuat, merasa prustasi dengan semua yang terjadi.
Tak peduli dengan kekacauan yang ia ciptakan, ia memilih pergi meninggalkan rumah begitu saja, bermaksud mencari sebuah ketenangan pun ia tak peduli dengan apa yang baru saja ia katakan pada sang istri.
"Aku akan pulang, Aku membutuhkanmu". Ucapnya pada seseorang yang baru saja ia hubungi.
.
.
.
.
Tubuh Jisoo terduduk lemas di lantai, hatinya kian pilu mendengar suara deru mesin mobil sang suami yang perlahan menjauh, semudah itu seokjin pergi setelah membuat hatinya terasa tercabik-cabik.Tubuhnya merangkak pelan menuju ranjang, berbaring secara perlahan sembari memeluk bingkai Poto dari wanita yang teramat ia rindukan.
Satu-satunya orang yang tak pernah menorehkan luka dalam hatinya."Ibu Jisoo rindu, mengapa dunia ini terasa begitu kejam pada kita Bu, apa dosa yang telah kita perbuat hingga tuhan menyiksa kita seperti ini. Aku lelah Bu, aku tak menemukan lagi orang sebaik ibu."
Tangis Jisoo terdengar pilu, luka dahulu kian menganga. Orang yang ia kira akan menjadi obat ternyata justru menorehkan luka yang sama.Obat yang ia harapkan dapat menyembuhkan trauma dan lukanya dimasa lalu justru memperdalam semuanya.
Tiada lagi orang yang dapat ia jadikan tempat bernaung, dunia terasa benar-benar meninggalkannya.
______
Mobil bermerk Lamborghini itu terparkir tepat di depan rumah yang dulu menyimpan sejuta kenangan baginya.
Laki-laki paruh baya itu menyadari betapa bodohnya ia di masa lalu. Keputusan terbodoh yang ia ambil adalah saat ia menjual rumah itu dan menghapus semua kenangan yang pernah tertoreh.
Rumah yang menyimpan sejuta kenangan bersama dua wanita yang entah saat ini berada dimana, andai saja dulu ia tak menjual bangunan megah itu. Mungkin saat ini ia bisa dengan mudah menemukan dua wanita yang teramat ia rindukan.
Hanya rasa sesal yang terus menghantuinya, bayangan masa lalu saat ia dengan angkuhnya meninggalkan dua wanita yang menangis memohon padanya kembali terbayang.
Lelaki paruh baya itu memukul stir merasa prustasi, kemana lagi ia akan mencari keberadaan mereka.
Mengapa rasa sesal harus datang terlambat, saat semuanya sudah banyak berubah. Mungkin gadis enam tahun yang dulu ia tinggalkan saat ini sudah menjelma menjadi gadis yang cantik.
Mungkinkah anaknya mau menerima maaf dari lelaki brengsek sepertinya? Kata itu terus berputar dalam pikirannya, dan membayangi setiap langkahnya.
"Jisoo, kau dimana sayang? Maafkan ayah". Ucap lelaki itu terdengar lirih.
"Tuhan, beri aku kesempatan sekali lagi untuk bertemu mereka". Kebodohannya kini menghasilkan sebuah penyesalan tiada arti.
Hingga suara dering ponsel mengalihkan segala pikirannya.
"Ada apa istriku?".ucapnya sesat setelah ia menerima panggilan yang berasal dari ponsel miliknya.
...
"Baiklah aku segera pulang."
Sang paruh baya kemudian beranjak, kembali meninggalkan istana megahnya.
Pencariannya belum berhasil, dengan harapan esok ia bisa memberikan hal yang lebih baik.

ESTÁS LEYENDO
broken heart (Kim Seokjin)
FanficPatah hati itu hal biasa, tapi mungkin kau tak tahu hati seperti apa yang telah kau patahkan.