14. landapankoa

631 100 10
                                    

Saudara itu harus saling peduli dan saling menjaga, bukan menyakiti dan juga mengabaikan

🐨🐼

Ada banyak hari dimana Jihoon selalu merasakan bahagia saat-saat bersama bundanya, walau detik selanjutnya diisi dengan kecewa, bahwa harapnya terlalu tinggi, bahwa inginnya mustahil tuk tercapai. Sejak kepergian bunda, tak ada lagi alasan Jihoon untuk tertawa, bahkan untuk tersenyum. Tak ada lagi alasan Jihoon untuk membentuk kepedulian dan juga rasa kasih sayang. Semua lenyap bersama dengan Bunda.

Jihoon ingat, terakhir kali dia merasa khawatir hingga tak dapat terpejam adalah waktu dimana bunda tiba-tiba meronta, lalu kemudian memejamkan kedua mata, menghentikan suara-suara konstan yang begitu dihafal oleh Jihoon, sebab selalu menjadi pengisi suara ruang yang bagaikan kamar kedua untuk Bunda.

Namun kini, rasa itu seolah bangkit. Waktu dimana Masiho lari begitu tergesa, dengan seseorang yang berada di punggungnya. Berhasil membuat Jihoon kembali pada rasa dimana hari ia terakhir kali melihat pejam bundanya. Bedanya, kali ini Jihoon tidak menangis meraung-raung, tidak pula meneteskan banyak air mata. Hanya diam, tak bersuara, dan berusaha menahan diri untuk tak melepaskan emosi dalam dirinya.

Wajah pucat itu membuat Jihoon bertengkar dengan pikirannya, menimbulkan opini negatif, pula opini berusaha positif.

Jihoon menggengam tangan Junkyu yang dingin, cairan dari kelenjar keringatnya terlalu bersemangat mendorong untuk keluar ke permukaan. Sesekali Jihoon menghapus titik-titik keringat itu dengan kain yang tadi sempat diberi oleh petugas UKS.

Andai Masiho masih berada di ruangan itu, sudah dipastikan Jihoon tak akan melakukan hal tersebut. Beberapa menit yang lalu, anak itu izin untuk langsung pulang sebab abangnya membutuhkan bantuannya. Jadilah hanya Jihoon dan Junkyu yang berada di ruangan ini.

Jemari dalam genggaman Jihoon perlahan bergerak, menyadarkan Jihoon untuk segera melepas tangan itu, sebelum si empunya sadar.

"Jiun," panggil Junkyu dengan nada serak, mata itu belum sepenuhnya terbuka, hanya berkedip beberapa kali guna menyesuaikan pencahayaan, untuk kemudian ditutup kembali. Entah terlalu berat karena mengantuk, atau terlalu malas terjaga, rupanya pusing dikepalanya masih bersarang.

Junkyu sempat melihat sekilas siapa yang sedang menungguinya kini, dan ternyata itu Jihoon. Tak mau membuat saudaranya khawatir atau semacamnya, Junkyu mencoba sok kuat dengan tak menyuarakan pusing yang mendera. Ingin bangkit, namun jangankan menggerakkan badannya, membuka mata saja, sangat berat, menambah pusingnya.

"Lo udah sadar gak sih?"

"Hemm," Junkyu hanya mendehem pelan.

Jihoon dibuat bingung dengan tingkah Junkyu, sehingga membuatnya tergerak untuk lebih dekat lagi dengan Junkyu.

"Lo beneran udah sadar?" tanya Jihoon lagi.

"Udah Ji," balas Junkyu dengan posisi yang sama, tidak bergeser barang sedikitpun.

"Yaudah bangun kalo gitu." Sejujurnya bukan itu maksud Jihoon, bukan bertindak kasar, berkata kasar, Jihoon hanya terlampau khawatir namun masih diselimuti ego, sehingga untuk memastikan Junkyu baik-baik saja, ya dengan menyuruhnya bangkit.

"Bentar lagi Ji, gue masih pengen tiduran."

"Ini udah sore, lo mau tiduran disini sampe besok?"

"Lo pulang duluan aja."

Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Junkyu, berhasil membuat Jihoon sedikit marah, ia merasa Junkyu tak menghargai dirinya yang rela menunggui, bahkan sedaritadi menghabiskan waktu dengan rasa khawatir.

"Jadi gini cara lo ngucapin makasih buat orang yang udah panik nungguin lo sadar," ucap Jihoon dengan penuh penekanan. Jihoon menarik tasnya yang berada di bawah tempat tidur dengan kasar, lalu akan pergi keluar, namun hal tersebut terhenti, sebab tangannya ditahan oleh tangan dingin yang tadi sempat ia genggam.

"Maafin gue Ji." Junkyu sudah menunjukkan kedua binar matanya, tak lagi terpejam. Entah mengapa mendengar kalimat Jihoon barusan berhasil menghalau sedikit pusingnya. Junkyu tersenyum, "ternyata lo peduli sama gue."

Jihoon menghempas tangan itu, menyadari bahwa ia baru saja keceplosan. Jihoon tak mau menatang Junkyu, berusaha mencari objek lain, walau pikirannya sudah merutuki betapa bodohnya, bisa-bisanya mengucap hal demikian.

"Gak usah kepedean, gue gini gara-gara lo dengerin perintah gue."

"Buat jauhin Ochi ya?"

"Hemm."

Senyum Junkyu luntur, ternyata untuk itu. Tapi tak apa, Junkyu tetap saja senang, begini ternyata rasanya memiiki saudara dan mendapat kepedulian, walau secuil dan bersyarat.

"Tapi gue masih belum paham, kenapa lo bisa sebenci itu sama Ochi?"

"Karna dia salah satu penyebab kematian bunda."

"Maksud lo?"

"Lupain, btw kalo lo udah gapapa, kita pulang, oma udah di rumah."

Junkyu bangkit, sisa-sisa rasa pusing masih ada, namun sudah mendingan. Mungkin karna Jihoon sudah berlaku agak baik sekarang.

Jihoon berjalan meninggalkan Junkyu lebih dulu, membiarkan Junkyu menyusulnya, tanpa tau bahwa Junkyu sedikit kesulitan, bahkan baru berdiri saja badannya sudah oleng dan nyaris jatuh, jika tangannya tak sigap menggapai tempat ia berbaring tadi.

"Jiun tunggu."

Junkyu memanyumkan bibirnya, kesal karna Jihoon sudah benar-benar menghilang meninggalkannya. Setelah berhasil menyeimbangkan tubuhnya, Junkyu mengenakan sepatu hitamnya dan menarik ransel berstiker koala yang agak pudar, sebab stiker itu selalu menemani masa-masa sekolahnya mulai dari sekolah dasar. Stiker itu menyimpan begitu banyak kejadian, baik duka maupun suka milik Junkyu.

Bibir manyun itu masih melekat di wajah Junkyu, bayi besar itu memang menggemaskan andai Jihoon mau menyadarinya.

Pelan-pelan Junkyu melangkah, dan baru akan melewati pintu ruang, ia dikejutkan

"Doarrrrrr!!!!"

Junkyu terlonjak kaget, hingga berpindah beberapa senti kebelakang, tangannya refleks mengecek detak jantungnya. Sementara yang baru saja berulah usil tertawa begitu puas. Saking puasnya hingga kedua bola matanya bersembunyi tak terlihat.

"Lo kalo kaget lucu banget," ucapnya disela tawa renyahnya.

"Lo ngeselin banget tau ga." Bibir manyun itu semakin manyun saja, menatap Jihoon dengan wajah kesal, yang sejujurnya dalam hati, Junkyu merasa hangat. Tawa itu, pertama kalinya Jihoon mempertunjukkan tawa renyah itu untuknya. Pertama kali Jihoon tak menatap tajam kearahnya, pertama kalinya Jihoon membuatnya benar-benar merasa memiliki saudara.

🐨🐼

Sorry for typo (s)

Aslinya Jiun tuh usil banget, cuman ya masih ketutupan ego aja. Sementara Ajun anaknya suka ngambekan, tapi moodnya gampang balik kok. Dia cuman bayi koala yang nyamar jadi manusia biar bisa dipasangin ma Jiun. wkwk.

Btw sorry ga nyampe 1k-an kata, soalnya Part ini khusus buat Jikyu doang. Btw lagi, kalian komen dong, soalnya gue stuck banget, kalo kalian ga kasih respon apa-apa, kek mager banget ngetik. Soalnya mood gue ada di kalian, hehehh.

Don't Give Me Hope |JiKyu-JihoonJunkyu|Where stories live. Discover now