28. Mundur?

614 78 8
                                    

Membawa masalalu hanya akan menimbulkan keengganan untuk berani bahagia

#28

"Jiun," panggilan Junkyu tidak berhasil menghentikan langkah Jihoon. Pasti Jihoon merasa kecewa padanya, karena Junkyu telah ingkar pada janjinya untuk menjauhi Yoshi. Terkadang Junkyu merasa serba salah pada posisinya sekarang, haruskah ia memilih Jihoon yang merupakan saudaranya, atau Yoshi sahabat yang selalu ada untuknya.

"Ajun, gue tau lo pasti ngerasa ga enak buat jaga jarak sama gue. Tapi gapapa kok, gue gak masalah. Gue cuman mau satu hal, kalo lo capek, berhenti. Jangan maksain sesuatu yang nyiksa dan nyakitin lo, dan lagi, kalo lo ga okay, lo bisa calling gue. Paham? Gue ke kelas dulu, lo tidur aja, istirahat sebelum bel pulang bunyi."

Yoshi membereskan kotak P3K, lalu beranjak dari tempatnya duduk saat ini. Sebelum berbalik, ia melempar senyum pada Junkyu. Ketara sekali wajah bersalah yang ditampilkan Junkyu, ada banyak keraguan dalam raut itu. Yoshi merasa iba pada Junkyu, semampunya untuk mengerti pada pilihan Junkyu, rasanya Yoshi ingin menonjok saja wajah Jihoon hingga tak berbentuk lagi.

"Ochii," panggilan Junkyu menghentikan langkah Yoshi.

"Thanks ya and sorry, gue belum bisa jadi temen yang baik."

Yoshi memberikan jempol serta senyum termanisnya. Menurutnya tidak mengobrol atau berinteraksi tak akan menghilangkan status bahwa mereka adalah teman.

Junkyu menyentuh lengannya yang dibalut perban. Sedikit nyeri ketika ia mencoba mengangkat lengannya, belum lagi kepalanya masih sedikit pusing. Terkadang ada banyak pertanyaan datang secara bersamaan, yang satupun dari banyak pertanyaan itu tak dapat Junkyu jabarkan bagaimana rasanya. Entah itu mengenai ayah, bunda, atau Jihoon. Junkyu bahkan kadang lupa kapan terakhir kali ia memikirkan dirinya sendiri.

Mungkin memang benar, ia butuh istirahat, mencoba mengabaikan beberapa isi kepalanya yang begitu bising. Sedetik, dua detik, hingga banyak detik habis, namun pejam itu tak kunjung membawanya pada lelap. Junkyu tak kunjung tenang, pada akhirnya ia mencoba untuk bangkit dan mencari Jihoon.

Langkah pertama ia mulai dari taman belakang, karena tempat itu yang paling dekat dari UKS, sehingga besar kemungkinan untuk Jihoon ada disana. Dengan langkah pelan, Junkyu berjalan, sesekali ia memijat kepalanya yang seperti berputar, rasanya berat sekali, namun semakin pusing ketika ia memaksa untuk memejam.

Benar saja dugaan Junkyu, ada Jihoon di taman, namun ia tak sendiri, ada seorang yang berbincang dengannya, dari kejauhan terlihat mereka berbincang akrab, seperti sudah sangat saling mengenal, namun Junkyu tahu lawan bicara Jihoon saat ini bukan merupakan siswa di sekolahnya sebab pakaiannya berbeda.

"Hahahh, bisa-bisanya lo."

Junkyu dapat mendengar suara tawa Jihoon, niatnya ingin menemui Jihoon seakan pupus. Takut jika tawa itu akan pudar. Junkyu memilih memundurkan langkah. Kembali ke UKS mungkin merupakan pilihan yang tepat. Belum sampai pada tujuan, ia berpapasan dengan Masiho.

"Ajun, gimana kabar lo?" Tanya Masiho. Tampaknya ia akan latihan, terlihat dari bola basket di tangan kanannya. Terkadang ia putar di atas jari telunjuknya.

"Kabar baik Cio, kayaknya gue gak bisa lanjut latihan basket deh," ujar Junkyu. Ia memilih duduk di kursi panjang yang tepat berada tak jauh dari mereka.

"Kenapa? lo nyerah? lo gak mau buat Jihoon ngeliat usaha lo?" tanya Masiho. Melihat sinar redup di mata Junkyu, tentu saja ia seakan ikut terbawa oleh rasa yang seakan tak memiliki semangat itu.

Junkyu memberi gelengan terhadap banyak tanya Masiho, "bukan gue nyerah untuk dekat sama Jiun, cuman gue ngerasa percuma."

"Gak ada yang namanya percuma dalam sebuah usaha Ajun, lo aja belum nyoba, gimana lo yakin bakal sia-sia."

"Lo gak tau Cio."

"Iya gue gak tau, karna lo ga pernah mau ngasih tau. Gue temen yang cuman lo anggep orang yang lo kenal. Bukan temen sesungguhnya. Kadang gue ngerasa lo segitu gak percayanya sama gue, sampe-sampe ada banyak hal, yang meski gue udah tau, tapi lo tetep berusaha sembunyiin. Terserah lo deh maunya gimana, gue gak bisa paksa." Terakhir sebelum Masiho berlalu dengan wajah kecewa, ia sempat menatap orang di seberang yang sedari tadi hanya diam mendengarkan. Itu Jihoon, ia berdiri beberapa meter dari tempat mereka, dan Masiho yakin, Junkyu tak menyadari itu.

Junkyu menunduk lesu. Mungkin ia akan semakin jauh dengan Masiho, padahal Masiho sudah berbaik hati untuk mengajarinya, untuk menjadi teman terbaik untuknya, namun Junkyu malah mengecewakannya.

"Bukan gue putus asa, gue cuman pengen berenti sebentar, gue capek," ujar Junkyu lirih. Pikirnya ia berbicara sendiri, namun nyatanya ada telinga lain yang mendengar lirih suara itu. Jihoon mengepalkan kedua tangannya. Seakan emosi yang muncul dalam hatinya, ada pemberontakan terhadap pikirannya. Ingin rasanya ia melangkah maju untuk memeluk seseorang yang sedang menunduk tak jauh dihadapannya. Ingin ia memberi pelukan hangat pada Junkyu, memberikan kata-kata yang menghibur, namun sayangnya. Apa yang ia inginkan dan lakukan, adalah sesuatu yang berada di jalur berbeda.

"Lo ngapain disini?"

"Jiun,"

"Kenapa disini, bukannya lagi sakit, ntar pingsan lagi, malah nyusahin orang," ucapan itu sama dinginnya dengan tatapannya. Tanpa peduli bagaimana reaksi lawan bicaranya, Jihoon meninggalkan Junkyu yang semakin patah.

Bukan. Bukan itu yang ingin diucapkan oleh Jihoon. Bukan itu yang ingin dilakukan, namun mengapa, Jihoon mengacak rambutnya frustasi. Ia merasa bersalah sekarang. Ingin berbalik, namun otaknya seolah memberi perintah untuk tetap berjalan. Dasar Jihoon payah.

Sorry for typo (s)

Don't Give Me Hope |JiKyu-JihoonJunkyu|Where stories live. Discover now