21| Unexpected

14.5K 1.6K 66
                                    

Aku tak menyangka bahwa dua hari ini adalah waktu yang sangat berharga untuk bisa banyak berbincang dengan Dito, meski harus menguras emosi serta air mata.

Anakku itu pelan-pelan mulai terbuka dan bercerita satu per satu. Meski belum mengeluarkan semua yang dia rasakan, tetapi aku belajar menganalisis tentang dirinya secara perlahan-lahan. Bagaimana dia bisa memiliki pemikiran sepertiku, yaitu ingin membalas dendam pada mereka yang sudah meremehkanku dan Mas Arga, dengan cara menunjukkan banyak prestasi dan kesusksesan. Serta bagaimana bisa anak 16 tahun ini tumbuh menjadi seorang pemikir yang jauh lebih dewasa dari ibunya sendiri.

Iya, aku memang menyesal sudah meninggalkan Dito. Namun, aku tak mau terus berkutat pada penyesalanku itu dan kemudian melarikan diri lagi. Pada Dito kusampaikan bahwa aku akan segera menemui Mama dan berbicara dari hati ke hati.

Aku tak peduli dengan Mas Restu dan Mbak Regina. Karena mereka sejujurnya juga tak peduli padaku. Jadi, lebih baik fokus pada Mama dan meluruskan semuanya. Termasuk tentang rasa penasaranku, sebenarnya apakah Mama menerima Dito sebagai cucunya atau tidak.

Dito sendiri memintaku untuk sementara waktu menjaga rahasia tentang alasan dia pernah bunuh diri itu dari Mas Arga. Karena menurut Dito, Mas Arga juga tak ingin mencari tahu lagi.

Dito menyesal dan mengatakan saat itu sebenarnya dalam keadaan sangat sadar. Dia sedang merasa tertekan, lalu beranggapan tak lagi bisa memberikan bantuan kepadaku dan Mas Arga untuk bisa melawan mereka yang sudah meremehkan kami.

Satu sisi aku terharu, karena anakku sangat peduli padaku dan Mas Arga. Namun, sisi lainnya membuat hatiku sakit. Bagaimana bisa Dito memikirkan hal sejauh itu, di mana harusnya dia masih menikmati waktu bermain dan bersenang-senang di masa remajanya?

Kemudian obrolan kami pun berlanjut sampai bahasan tentang mantan-mantan kekasih Mas Arga. Dito mengatakan kalau dia masih belum mau menerima jika aku dan Mas Arga kembali bersama, karena masih merasa belum pulih dari rasa sakit hati akibat perceraian kami.

Dito takut perceraian kedua akan terjadi, tepat saat dia sudah mulai merasa kembali bahagia di antara aku dan Mas Arga. "Karena menurutku," kata Dito sambil memainkan ponselnya di lantai, "kalau Mama dan Papa masih belum bisa mengalahkan ego masing-masing, belum menyelesaikan urusan dengan keluarga, dan terus melarikan diri ... sama saja bohong. Dan hasilnya pasti kaya dulu lagi."

Aku juga heran, kenapa justru Dito, ya, yang seolah membuka satu per satu pintu dalam hatiku untuk melihat hal baru? Bagaimana aku harus menyelesaikan masalah dengan Mama, bagaimana aku harus bersikap ke Mas Arga, dan bagaimana aku harus memperbaiki hidupku sendiri.

Mungkin ini memang sudah rencana Tuhan. Dito mengalami masalah di sekolahnya, dia merasa down dan mencoba bunuh diri hingga membuat Mas Arga ketakutan, lalu mereka pindah ke Malang agar Dito lebih dekat denganku. Dari sini baik aku dan Mas Arga menjadi belajar lebih banyak tentang bagaimana berperan sebagai orang tua yang lebih baik untuk anak semata wayang kami.

"Ma," panggil Dito, membuatku segera menatapnya sambil mengangguk. "Kita jadi masak apa enggak?"

Aku berpikir sebentar, sambil melihat kedua mata anakku yang sayu. Dia pasti lelah. Lalu, kuelus pucuk kepalanya dan menjawab, "Kamu istirahat aja gimana? Tidur sana di kamar Mama. Nanti Mama pesenin makanan aja. Sekalian Mama bilang papa kamu kalau kita udah di Malang."

Dito melirik ponselku. "Atau Mama coba telepon Papa? Bilang kita udah di Malang, dan siapa tau Papa mau antar makanan ke sini."

Aku tersenyum geli. "Emang papa kamu kurir?" Namun, aku segera mengangguk setuju dan mengambil ponselku di lantai. "Duh, ujungnya retak," gerutuku.

"Mama, sih," sahut Dito, sambil berdiri dan meregangkan kedua lengannya ke atas, "pakai acara jatuhin hape segala."

"Ish!" Buru-buru aku ikut bangkit. "Kan, gegara kamu ngadi-ngadi bicaranya."

Close to You [Completed]Where stories live. Discover now