28| Brother

14K 1.4K 46
                                    

Sudah kondisiku lagi drop karena haid hari kedua, ditambah mendengar berita tak menyenangkan tentang nasib TravelMate dari Mas Ian tadi, eh ... tiba-tiba saja Mama pingsan dan Mas Restu berlagak seolah aku penyebabnya. Itu semua membuatku makin lelah dan serasa hampir mati.

Mas Ian mengantarku sampai depan kamar rawat Mama. Di sana ada Mas Restu, dan Mas Indro--sekretaris Mas Restu. Sementara Mbak Amini tak terlihat batang hidungnya, mungkin di dalam kamar menunggu Mama.

"Liat kelakuanmu! Ini gara-gara kamu! Bikin onar terus, sampai Mama--"

"Mas, ini di rumah sakit." Mas Ian yang masih setia menggenggam tanganku sejak turun dari mobil sampai di sini, berusaha menenangkan kakak pertamaku yang seperti orang kesurupan itu.

"Heh!" Namun, Mas Restu menunjuk hidung Mas Ian tanpa sopan santun sama sekali. Tingkahnya mirip setan yang berada dalam tubuh seorang lelaki berpendidikan tinggi. "Kon iku sopo? Berani banget--"

"Saya cuma mencoba menengahi, karena ini di rumah sa--"

"Anj--"

"Stop, Mas!" Akhirnya aku tak tahan dan berteriak juga. Kulepas tangan Mas Ian, lalu dengan sekuat tenaga maju ke hadapan Mas Restu.

"Ngaca o, Mas! Ngaca o!" Aku kembali berteriak. Sementara Mas Indro di sebelah Mas Restu terlihat kebingungan. "Kamu pikir apa Mama enggak ngerasa juga kalau kelakuanmu nyebelin? Enggak pernah ingat pulang ke Malang jenguk Mama, alasan kerja tapi kencan sana-sini, dan apa? Mau jadi apa kamu sampai umur segini belum nik--"

Tangan Mas Restu yang sudah melayang hampir saja mendarat di pipiku, tetapi dengan sigap Mas Ian maju, kemudian mencekal pergelangan tangan kakak sialanku itu.

"Bangsat!" Mas Restu menarik tangannya dengan kasar dari Mas Ian.

"Mas, maaf. Banyak yang lihatin." Mas Indro berbisik agak takut-takut ke Mas Restu.

Sambil merapikan kerah kemejanya, Mas Restu merendahkan nada bicaranya, tetapi masih menatap Mas Ian dengan tajam. "Enggak usah sok-sokan. Baru juga calon suami udah berani banget bertingkah."

Mas Ian membuka mulut, sepertinya hendak mengoreksi dugaan Mas Restu yang keliru itu, tetapi aku buru-buru bersuara. "Kalau kamu emang mau bikin ribut sama aku, kita selesaikan nanti di luar rumah sakit. Saat ini aku pengen ketemu Mama, Mas. Bukan kamu!"

"Ketemu Mama?" Mas Restu tertawa mengejek. "Buat apa? Mau bikin Mama makin sak--"

"Dan ingat," selaku, setengah menggeram, sambil menatap tajam kedua mata kakak lelakiku itu, "aku enggak masalah kamu hina-hina aku kaya gimana, tapi kalau sampai Mama makin parah karena kelakuanmu yang sok paling bener tapi aslinya bejat, aku enggak akan pernah lepasin kamu, Mas!"

"Bajingan kamu, Ren! Kalau aja kamu bukan adekku--"

"Apa?" Aku mendongak makin berani, seakan menantang Mas Restu tanpa rasa takut sama sekali. "Mau berusaha pukul aku lagi? Iya?"

Kulihat kedua tangan Mas Restu mengepal kuat, ada urat-urat terlihat di punggung tangannya itu. Wajahnya memerah, dan urat-urat lain ternyata juga tampak di kedua pelipisnya.

Aku menghela napas, mencoba mengontrol emosiku agar lebih terkendali. Sementara Mas Indro mengelus pelan lengan Mas Restu, tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

"Aku masuk dulu," kataku akhirnya, sambil mengode Mas Ian yang langsung mengangguk dan mengikutiku masuk ke kamar perawatan Mama.

Ternyata benar di dalam ada Mbak Amini, ditambah Mbak Yulis, ART Mama yang baru masuk dua tahun lalu. Mereka awalnya duduk di sofa dekat jendela, dan langsung berdiri saat aku dan Mas Ian masuk.

Close to You [Completed]Where stories live. Discover now