27| Finally

15.5K 1.3K 24
                                    

Senyum lega terkembang di wajahku, saat menatap benda kecil yang kini berada di atas telapak tangan kananku ini. Cincin pernikahan yang sudah 13 tahun kusimpan di kotak perhiasan, bersama dengan gelang pemberian Ibu, dan sepasang anting hadiah dari Mama. Ah, sudah lama aku tak memakai perhiasan emas satu pun di tubuhku ini.

Ya, selain karena aku tak terlalu suka, juga mungkin karena ketiga benda yang kusimpan ini selalu membuatku teringat pada banyak kenangan menyedihkan di masa lalu. Sehingga membuatku lebih baik menyimpannya saja, daripada nekat memakainya meski hanya untuk pemanis penampilan saat di depan publik.

Kemudian kupasang cincin yang memiliki permata kecil warna putih di tengahnya ini pada jari manis tangan kananku. Memang aku belum tahu akan mengarah ke mana hubungan kami nantinya. Aku juga belum memikirkan lagi keputusan apa yang akan kuberikan pada Mas Arga. Yah, setidaknya sebelum berhasil membuat Dito benar-benar percaya lagi pada kami, bahwa kedua orang tuanya tak akan kembali saling menyakiti atau meninggalkan satu sama lain. Tentunya masih ada PR lain juga, yaitu Mama dan dua kakakku. Begitulah.

Ponsel yang kuletakkan di meja bergetar. Rupanya pesan dari Mas Arga. [Udah sampai apartemen, Ta? Segera istirahat, ya. Jangan lupa makan malam.]

How sweet. Aku tidak pernah mengira akan mendapat pesan seperti ini lagi dari Mas Arga. Setelah 13 tahun berlalu, rasanya agak geli saat menerima pesan ini. Biasanya obrolan kami adalah seputar masalah Dito. Entah dalam keadaan santai, atau seringnya justru berakhir dengan cekcok.

[Udah, Mas. Kamu udah sampai juga? Makan malam apa ntar?]

Kuletakkan lagi ponselku di meja. Kemudian aku mengangkat tangan hingga sejajar wajah untuk mengamati cincin pemberian Mas Arga 16 tahun lalu itu. Aku ingat saat dia memberikan benda tersebut padaku. Kedua telinganya yang berkulit putih tersebut memerah. Agak gugup dia berkata, "Maaf, ya, Ta. Ini murah, sih. Tapi, semoga kamu suka dan enggak akan pernah melepasnya kecuali kalau udah kekecilan."

Tawa geli lepas dari mulutku. Mas Arga remaja memang clumsy, cute, dan polos. Dia selalu berusaha memberikan yang terbaik, berjuang sekuat tenaga agar bisa membahagiakan orang-orang yang dia cintai. Itulah yang membuatku dulu sangat yakin, bahwa sepertinya memang aku tak akan pernah bisa mencintai lelaki lain selain dia.

Ponselku bergetar lagi, pesan baru dari Mas Arga. [Mau makan malam bareng? Keluar ke mana gitu. Ntar aku jemput.]

Hah? Kencan? Dengan mantan suami? Astaga! Kenapa wajahku tiba-tiba memanas begini? Ah, sial! Sial! Kamu ini udah 33 tahun, Rena. Kenapa salah tingkah mirip anak remaja begini? Wah, perutku rasanya makin geli, gila!

Dengan cepat kubalas pesan Mas Arga itu. [Boleh. Mau ke mana, Mas? Masa mie ayam lagi?]

Baru juga kukirim, dua centangnya sudah berwarna biru, dan langsung ada keterangan typing di bagian bawah kontak bernama Papanya Dito itu. Ini, sih, benar-benar gila! Mas Arga yang bagai siput dalam membalas pesan, kenapa bisa secepat ini dalam merespons?

[Tapi, serius kamu enggak kecapekan? Ya, kalau emang enggak pa-pa, kamu mau apa ntar aku ngikut aja.]

Kubalas juga dengan cepat. [Rawon di Rampal. Mau, a, Mas?]

Kali ini tak langsung biru. Hm, bahkan juga tiba-tiba offline. Yah, mungkin dia berangkat mandi atau ke mana begitu. Oke, baiknya kutunggu sebentar. Aku juga harus segera mandi, jadi nanti bisa lebih banyak waktu untuk bersiap sebelum Mas Arga menjemput.

Namun, suasana hatiku yang tengah berbunga-bunga mendadak berubah karena tiba-tiba saja Mas Ian menelepon. Ada apa ini? Urusan pekerjaan, atau lainnya? Tiba-tiba saja rasa khawatir mulai menyelimuti hatiku.

Akhirnya kuangkat telepon dari bosku itu dan menyapanya. Dengan cepat Mas Ian bertanya padaku, "Ren, bisa keluar sekarang enggak? Ada hal penting yang mau aku omongin. Ini udah deket area apartemenmu, jadi kalau mau, sekalian kujemput, kita ngobrol di luar."

Close to You [Completed]Where stories live. Discover now