9. Take Me Back to Us

158 30 11
                                    

"Here we are," Hans merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku usai merenovasi cafenya secara mandiri. Sebenarnya rekannya sudah mengajukan usulan untuk memanggil tukang saja, tapi Hans bersikeras ingin melakukan itu sendiri, katanya pengiritan usai sepi pelanggan.

Padahal Hans sendiri yang menutup cafenya beberapa hari terakhir karena sedang ingin fokus mengajak bermain Ginger dan Alice. Ya, siapa lagi kalau bukan kucing liar yang Hans adopsi dari semak taman kota?

"Capek," eluh Amber lalu melempar apronnya jauh-jauh. Hans berdecak heran. Kalau saja Amber bukan temannya, mungkin saat ini ia sudah menyeret Amber untuk jadi maskot cupcake didepan cafenya sambil berteriak, "SUDAH BUKA! KHUSUS UNTUK MUSIM DINGIN, ADA POTONGAN HARGA BESAR BESARAN!"

Hans bergidik ngeri. Membayangkannya saja sudah mengerikan. Memang Amber tidak ditakdirkan untuk berjualan, ternyata.

"Kau belum melakukan apa-apa, bodoh,"

Lalu mereka semua sama sama terdiam. Menunggu pelanggan memasuki cafe dan menimbulkan bunyi nyaring pada sebuah lonceng diatas pintu itu lumayan membosankan.  Apalagi, salju tidak berhenti turun sejak beberapa hari lalu. Cafe yang seharusnya terasa hangat, malah semakin dingin.

Amber melepas ikat rambutnya karena merasa sedikit pusing, lalu duduk di bangku dengan kaki yang lurus. Tangannya meraih sebuah buku dari tas ranselnya, 'Winter Wishes and Promises'.

Didalam buku itu, tepat di halaman pertama tertulis,

Aku mulai merintih, jawabmu terkubur begitu dalam hingga aku tak bisa menggalinya kembali. Katakan padaku mengapa aku mengecewakanmu, tolong jangan membuatku pulang berawai lagi.

Terrlalu sulit untuk mencari kalimat bertautan dengan semuanya. Manikku memburam, parasmu begitu kusut dalam pandanganku
sampai kapan akan seperti ini?

Andaikata semuanya akan selesai, yang kita butuhkan saat ini hanyalah tempat untuk mengakhiri.

Aku kehilangan ide untuk sekedar memberi tajuk. Semakin besar para imajinasi itu singgah dalam benakku, semakin aku merasakan kekosongan yang mengakar untuk bangkit menjadi abadi.

Seolah-olah kita menulis dengan tinta yang sama, seolah-olah kita mengumpulkan kisah yang sama, seolah-olah kita adalah jiwa yang saling mencintai.

Aku bersuara hampir setiap waktu tentangmu, pada imajinasi akan hadirnya sosokmu.

Miris sekali,
bahkan hamparan kota itu tersapu habis oleh senyum dan tawamu yang merekah seolah nyata.

winter wishes and promises.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang