12. Its Always About Us

85 17 0
                                    

"Oh Chester, kalau saja aku bisa berbicara denganmu sekarang ... "

Amber memilin ujung rambutnya yang mulai kering. Ya, itu salah satu efek musim dingin yang selalu ia benci. Berlin nampak jauh berbeda dibanding saat terakhir hidupnya.

Tidak ada lagi orang berjalan kaki, semuanya memijak kendaraan yang mereka kenal dengan, 'R07'. Bahkan Amber pernah mencibir jika nama mereka lebih terdengar seperti serangan nuklir. Melihatnya saja sudah lelah.

Tidak bisa dipungkiri jika pola pikir Amber mirip seperti penghuni panti jompo yang kerap mengomentari pakaian anak muda zaman sekarang, seperti, "melihat pakaianmu saja saya sudah merasa dingin," atau yang seperti ini, "saya dulu menghabiskan waktu tahun baru dengan membuat kue kering, bukannya mengurung diri di kamar lalu bermain ponsel,"

Amber meringis. Rasanya seperti mimpi jika keinginannya terkabul secepat itu. Katakanlah pikiran Amber terlalu kuno. Mereka masih terjebak dalam mesin waktu, tidak bisa pergi dan menerima kenyataan bahwa mereka sudah hidup di dimensi yang berbeda sekarang.

"Chester, tembakan di cafe itu tidak tertulis di daftar keinginanku, tahu ... " Amber mengusap dadanya dibalik jaket tebal yang ia kenakan. Bekas itu masih ada, mereka nampak mengerikan.

"Aku seperti hidup dalam mimpi, kau tahu?"

Mari berpikir, kemungkinan terburuknya jika Amber tidak menuliskan keinginannya pada buku aneh itu, mau jadi bagaimana nasibnya sekarang?

Tapi ...

"Kalau saja aku tidak menuliskan takdir yang aku mau, Michael tidak akan pernah mencintaiku, ya?"

Itu terdengar begitu menyedihkan. Sama seperti wanita jahat yang egois, yang tidak membiarkan seseorang jatuh pada pilihannya sendiri.

Tapi semua salah Michael.

Tidak, Amber tetap saja bersalah.

"Kenapa ini semua terdengar sangat serius? kenapa hanya hari ini yang terasa aneh?"

Seseorang pernah berkata jika hal yang dimulai dengan sesuatu yang buruk, pasti berakhir dengan hal yang buruk pula. Akankah ini berlaku juga untuk Amber?

Amber lupa kapan terakhir kali Michael mencintainya dengan setulus hati. Kapan terakhir kali tatap itu ia layangkan dengan penuh rasa. Kapan mereka bertemu dengan hati yang sama.

Amber menolehkan wajahnya saat bunyi pintu yang hendak dibuka itu terdengar. "Yaaaa?"

"Ini aku, Michael!"

Amber menghela nafas ... membiarkan kekasihnya masuk kedalam rumahnya. Amber langsung melongo saat tahu apa yang orang itu bawa. Banyak sekali tas belanja dari beragam toko, mulai dari minimarket, toko pernak pernik, toko daging, bahkan ... ia membawa satu kantong penuh anggur?

"Hehe ... aku rasa aku butuh bantuan ... " Michael cengengesan, lagi lagi mengeluarkan lesung pipinya.

Amber menggeleng tak percaya dan mengeluarkan sedikit eluhan pada pacarnya, walau tetap saja ia berdiri dan membatu Michael membawa beberapa kantong darinya.

"Untuk apa membeli sebanyak ini? siapa yang ingin berpesta sekarang, huh?" celetuk Amber sembari mengintip seberapa banyak barang yang bisa dimasukkan kedalam kantong belanja yang tak seberapa itu. "Astaga, Michael, bahkan kau membeli mainan anjing lagi?! Kau tak ingat apa yang sudah Mona lakukan dengan bola-bola itu?"

Mona, Samoyed dewasa yang mereka dapatkan setengah tahun lalu itu sudah merusak banyak furnitur rumah Amber. Michael pikir dengan memberikannya mainan bisa mengalihkan fokus anjing itu, ternyata sama saja. Malah lebih banyak sampah yang harus Amber bersihkan karenanya. Mereka semua rusak di tangan Mona.

"Jangan pedulikan itu. Lihat, aku membelikanmu banyak sekali obat-obatan," Michael mengambil plester kompres dan langsung menempelkannya di dahi Amber. "Aku tahu kau sedang sakit, kan?"

Dan benar saja, saat tangan Michael bersentuhan dengan dahi Amber, panas itu sampai ke tangannya. "Tuh, kan. Kau demam lagi," celetuk Michael sambil merotasikan bola matanya.

"Kenapa bisa begini?" tanya Michael sambil beranjak pergi menuju dapur. Amber dengan wajah datarnya mengekor di belakang.

"Apanya?" tanya Amber balik saat mereka sampai di meja makan.

"Kau, kenapa bisa sakit begini?"

"Ah-oh, itu ... mungkin karena ... entah, ya. Aku tidak tahu kenapa. Tiba-tiba saja aku merasa tidak enak badan,"

Michael memasang wajah menyelidik.

"Apa?"

Lalu lelaki itu menggeleng dan kembali sibuk dengan urusannya. "Kau mau apa?" tanya Amber di belakang Michael yang sibuk dengan gandum-gandum di meja.

"Tentu saja memasak sesuatu untukmu. Memangnya kau harus terus makan makanan instan saja?"

Amber terdiam. Dari catatan Michael, Amber memang jarang memasak untuk dirinya sendiri, karena dia sangat sibuk dengan pekerjaannya—sekarang Amber pemilik toko bunga yang punya beberapa cabang—itu cukup menyita waktu.

Bukan karena Amber tidak bisa memasak!

Amber menjatuhkan dagunya tepat diatas pundak kanan pacarnya, "Aku merindukanmu,"

Michael tersenyum samar, "Ada apa ini? kau manja sekali,"

Amber menjauhkan tubuhnya dan memeluk Michael dari belakang. Menenggelamkan wajahnya pada punggung Michael. Dengan suara samar ia berkata, "Jangan pergi Michael,"

"Aku tidak kemana-mana, sayang,"

"Aku takut sendiri ... aku takut masa lalu itu terulang lagi,"







winter wishes and promises.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang