Empat Belas : Turbulence

1.2K 80 0
                                    

Arjuna sudah tak lagi menjabat sebagai ketua OSIS, kini ia hanya siswa biasa yang tengah sibuk mengejar cita-cita. Belakangan, Arjuna sering memikirkan apakah benar ini adalah cita-citanya. Menjadi seorang dokter dan mendedikasikan seluruh waktunya untuk pasien. Bukan Arjuna tidak senang, melainkan ia semakin ragu dengan langkahnya yang belum seberapa ini.

Lelaki itu merasa tengkuknya cukup tegang karena terhitung sudah tiga jam ia menekuri buku soal. Matanya perih dan panas, kepalanya pening belum lagi semakin ia memaksakan semakin ia merasa tulisan-tulisan pada buku itu mengabur. Arjuna menghela napas berat, ia menyerah. Kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi belajar mengusap kasar rambutnya yang mulai memanjang. Tangannya membuka laci meja yang sudah lama sekali tidak pernah ia sentuh. Matanya menatap buku sketsa yang usang.

Ia mengambil buku itu, kemudian berjalan menuju tempat tidurnya yang masih rapi dan terasa begitu dingin. Arjuna mengusap buku yang penuh dengan kenangan itu, lembar demi lembar ia buka dan menemukan banyak sekali goresan yang tak pernah ia ulang kembali dalam beberapa waktu ke belakang.

"Sudah lama, ya."

Racauan lelaki itu hanya seperti angin lalu, tidak ada satu orang pun yang mengetahui jika ia meninggalkan banyak cita-citanya. Tidak ada yang memahami dirinya, hingga sekarang ia merasa terseok sendiri di jalan yang belum tentu membawanya dalam kebahagiaan. Jika boleh Arjuna meminta untuk mampu melihat apakah pilihannya saat ini tepat? Apa benar ia mampu menyenangkan hati orang tuanya dengan cara seperti ini?

Arjuna kembali meletakkan buku sketsa itu pada laci lemari, kemudian menguncinya dan berharap ia tidak pernah mengingat bahwa jauh dari lubuk hatinya sejak dulu ingin sekali melanjutkan mimpinya. Dulu, Arjuna selalu bermimpi membangun rumah dengan gambar yang ia ciptakan sendiri. Ia selalu berambisi menjadi seorang arsitek. Tetapi, Mamanya selalu meminta agar ia mengusahakan untuk lolos di kedokteran. Mungkin Arjuna bisa menolak jika itu adalah keinginan Papanya, tetapi permintaan itu bahkan keluar dari mulut ibunya sendiri. Seumur hidup, Arjuna belum pernah membuat Ariana bangga. Menurutnya, ia selalu berada di bawah Jian dan ia tidak suka itu.

"Usaha nggak pernah menghianati hasil, kan?" tanyanya ragu pada diri sendiri.

***

Pagi ini Arjuna merasa sangat buruk, berkali-kali ia meninggalkan barang yang seharusnya dibawa ke sekolah. Awalnya ia meninggalkan dasi, kemudian topi juga ikat pinggangnya. Ariana pun menggeleng melihat betapa kacaunya Arjuna pagi ini.

"Di cek dulu coba peralatan sekolahnya, atribut sudah semua atau belum?"

Arjuna sibuk memperhatikan dirinya dan melihat ke dalam tas untuk memastikan tidak meninggalkan satu dari sekian banyak buku yang harus ia bawa hari ini. "Sudah, Ma."

Kala melihat Arjuna yang tampak lesu, matanya terlihat sekali jika lelaki itu lelah. Setelah melepas jabatan OSIS rupanya tak lantas membuat Arjuna bersantai.

"Kak, sehat kan?" tanya Kala ragu, pertanyaannya bahkan mengundang perhatian tiga orang lainnya.

Ariana berjalan cepat membawa satu piring roti bakar selai cokelat kesukaan ketiga anaknya. Tangannya dengan cekatan menempel pada dahi Arjuna setelah menaruh piring di hadapannya. "Hangat. Nggak usah sekolah, Kak."

Lelaki itu dengan cepat menghindar, ia sangat sadar jika tubuhnya begitu lelah dan ingin beristirahat. Tetapi, melihat ini adalah awal minggu dan ujian sudah berada di depan mata tidak mungkin jika ia bersantai.

"Aku oke kok."

Dhika memperhatikan gerak gerik anak sulungnya dengan seksama. "Kak, kalau capek boleh istirahat kok. Nanti Papa bantu ijin ke wali kelas kamu."

Arjuna menggeleng sembari menggigit roti dan meminum segelas susu yang sudah tersedia. "Nggak Pa, Juna hari ini ada ulangan."

"Berarti Kak Juna nggak boleh bawa mobil. Kalau tiba-tiba pusing di jalan kan bahaya." Jian yang sejak tadi hanya menjadi pengamat, kini mengemukakan pendapat.

Bitterfly ✔️ [COMPLETED]Where stories live. Discover now