Kawin1: Mang Burhan

35.7K 635 32
                                    

Adzan Ashar baru selesai berkumandang. Matahari juga sudah agak tergelincir ke arah barat dan membuat sinarnya tidak seterik saat tengah hari.

Bapak dan Ibuk muncul dari rimbunnya tanaman kacang panjang dengan wajah letih. Keringat terlihat muncul di dahi mereka. Nafas keduanya pun terlihat berat kelelahan.

Yanto sudah lebih dulu melipir ke gubuk karena tahu Ashar akan segera tiba dan artinya ia dan orang tuanya akan segera beres-beres kemudian lanjut pulang.

"Beberapa hari lagi sudah bisa dipanen kacangnya. Dan kebetulan harganya lagi bagus," ucap Bapak saat beliau ikutan duduk di bale-bale gubuk sederhana yang digunakan untuk istirahat. Bapak menenggak minum dari dirigen air. Setelahnya mata Bapak menerawang memandangi kebun kacang panjang yang sudah memperlihatkan sulur-sulur kacang panjang muda dengan mata berbinar.

"Iya, Pak, semoga duitnya bisa kekumpul banyak. Nanti sebagian mau Ibuk belikan emas buat tabungan. Tahun depan kan Lala akan masuk SD," jawab Ibuk sama berharapnya. Lala yang disebut Ibuk adalah adik perempuan Yanto yang sekarang sudah berusia enam tahun lebih.

"Iya, Buk." Wajah Bapak kemudian menengok ke Yanto, "Oya, Yanto, kamu nanti dapat juga bagian uangnya. Kamu sudah banyak bantu Bapak Ibuk. Kamu rencananya nanti mau beli apa?"

"Yanto pengen beli hape, Pak. Kan Yanto sudah ada tabungan agak lumayan. Jadi nanti buat tambahannya."

"Iya, iya. Boleh."

Bapak dan Ibuk begitu menghargai Yanto sebagai anak laki-laki yang bisa diandalkan. Keadaan ekonomi yang pas-pasan membuat mereka tidak bisa meneruskan sekolah Yanto selepas dari SMP. Sejak itu, Yanto turun ke ladang dan sawah membantu Bapak Ibuk mengerjakan pekerjaan yang bisa dia kerjakan tanpa pernah mengeluh, sampai usianya yang sekarang sudah 17 tahun.

Dari beberapa bulan lalu, Bapak dan Ibuk sudah mendengar niat Yanto yang ingin membeli ponsel dan mereka juga tahu kalau Yanto sudah menabung uangnya selama ini. Sebab itu mereka tidak pernah pelit memberikan bagian Yanto setiap kali ada hasil sawah atau ladang yang sudah dijual. Bagaimana pun hasil pertanian yang dijual itu ada keringat Yanto juga.

Usai membereskan peralatan dan segala yang dibawa dari rumah, Bapak dan Ibuk mengajak Yanto pulang.

"Bapak Ibu duluan saja. Yanto pengen mandi dulu di kolam soalnya gerah dan panas banget," jawab Yanto.

"Ya sudah, tapi jangan lama-lama nanti kesorean. Kalo gelap-gelapan jalannya agak susah. Nanti hati-hati pulangnya ya!"

"Iya, Buk!"

Bapak dan Ibuk meninggalkan Yanto di gubuk sendirian. Hanya suara burung yang ada di pepohonan menjadi irama yang didengar. Memang sepi kalau sudah Ashar begini sebab para petani biasanya pulang menjelang Ashar, bukan setelahnya.

Kresek!

Telinga Yanto mendengar langkah seseorang yang mendekati gubuk. Dan tak lama ditunggu, muncul sosok Mang Burhan yang tersenyum. Mang Burhan ini pemilik ladang di sebelah utara ladang Bapak.

"Bapak Ibu kamu sudah pulang ya?" Tanya Mang Burhan sambil ia masuk ke dalam gubuk, lalu duduk di bale-bale dekat Yanto.

"Sudah, Mang."

"Berarti aman dong?"

"Iya, Mang."

Mang Burhan bangkit dan dia melepas kaosnya yang lembab oleh keringat. Terpampanglah tubuhnya yang memiliki dada bidang dan bahu lebar. Kulit Mang Burhan rata agak gelap gara-gara suka kerja di bawah terik matahari tanpa baju.

Lalu Mang Burhan juga menurunkan celana kolor kebesarannya sampai selutut hingga memperlihatkan kontolnya yang besar dan panjang yang masih menggantung lemas.

PEMUDA YANG DIKAWINIKde žijí příběhy. Začni objevovat