Kawin4: Di Kamar Mang Burhan

16.8K 366 12
                                    

Panen kacang panjang bisa sampai 15 kali petik. Tapi semakin sering dipanen, jumlah kiloannya akan terus menyusut. Pada panen ketiga hasilnya masih banyak. Apalagi saat harga bagus seperti sekarang, membuat Bapak Ibuk semangat pergi ke ladang setiap pagi.

Sejak kejadian Yanto dan Mang Burhan di gubuk, keduanya langsung bisa bersikap biasa saja di depan Bapak Ibuk. Seperti sebuah drama, mereka bisa memerankan perannya dengan baik. Sesekali Mang Burhan pasti mampir ke gubuk ketika waktunya rehat, biasanya pada tengah hari menjelang Dzuhur.

Mang Burhan akan mengobrol dengan Bapak Ibuk, selanjutnya dia pasti mengajak Yanto untuk mandi di Sungai Kalijaga, bukan di kolam mata air seperti biasanya. Menurut Mang Burhan, mandi di sungai dengan air yang masih jernih dan melimpah lebih menyegarkan badan ketimbang mandi dari air kolam walau sumbernya masih alami mata air.

Dan memang yang dilakukan Mang Burhan dan Yanto hanya mandi saja, tidak sampai melakukan hal aneh. Mereka tidak ingin kebiasaan mereka ketahuan orang mengingat lokasi sungai yang sangat terbuka. Mang Burhan sering mengingatkan Yanto soal ini, apalagi kalau Yanto sudah menunjukkan gelagat menggoda. Sebagai orang yang jauh lebih dewasa, Mang Burhan merasa harus memberi batasan kepada Yanto untuk bisa membaca kesempatan dengan tepat dan baik.

"Nto! Sini!" Panggil Ibuk saat Yanto sedang merebahkan diri di kamar setelah solat Maghrib.

"Iya, Buk!" sahutnya sambil bergegas ke dapur, tempat dimana Ibuk sedang membereskan kacang panjang yang akan dibagikan kepada tetangga rumah.

"Itu, kamu anter ke rumahnya Burhan ya. Biar bisa dimasak istrinya besok pagi."

"Iya, Buk!"

Yanto mengeluarkan sepeda yang biasa ia pakai untuk ke warung depan atau ke tempat yang agak jauh. Kalau hanya untuk ke tetangga dekat, biasanya dia jalan kaki. Berhubung rumah Mang Burhan beda blok, mau tidak mau Yanto harus mengayuh sepeda biar tidak kelamaan juga.

Sepanjang jalan yang dilewati terlihat sepi. Perkampungan di sini ramainya hanya sampai menjelang Maghrib. Setelah itu, kebanyakan orang memilih beraktifitas di dalam rumah. Para pemudanya juga begitu, memilih tiduran atau main hape di kamar karena sebagian besar mereka tidak ada kawan buat nongkrong. Kebanyakan pemuda di kampung ini merantau ke luar kota seperti Jakarta dan Bandung mengadu nasib dengan menjadi karyawan pabrik atau kuli bangunan yang dibawa mandor. Dan mereka akan pulang kampung kalau mau lebaran Idul Fitri atau ketika ada kejadian penting.

Yanto butuh sekitar 10 menit untuk mencapai rumah Mang Burhan. Keadaan di luar rumahnya, termasuk di teras, kelihatan sangat sepi. Yanto sempat mengintip ke dalam melalui jendela, tapi tidak tampak ada orang. Dia pun mengetuk pintu dengan perlahan.

"Iya, sebentar!" sahut suara Mang Burhan dari dalam.

Yanto menunggu dengan gusar.

Begitu pintu dibuka, Mang Burhan sempat terkejut. Tapi dia kemudian tersenyum santai.

"Kamu, Nto. Ada apa malam-malam mampir?" Tanya Mang Burhan ramah.

"Ini, Mang, disuruh Ibuk buat ngasih ini," serah Yanto.

"Oalah, Ibuk mu itu memang merepotkan kamu ya sampai harus ngasih sekarang. Padahal bisa besok atau pas di ladang saja." Mang Burhan menerima kantong plastik dari tangan Yanto.

"Kata Ibuk biar bisa dimasak istri Mamang besok pagi," ucap Yanto menerangkan.

"Iya, iya. Ya sudah, Nto, kamu masuk dulu, biar Mamang bikinkan minum," Mang Burhan mempersilakan.

"Enggak usah, Mang, kalau Yanto mampir nanti malah ganggu Mamang istrirahat."

"Sttt, udah sini masuk saja. Ngobrol sama minum dulu," Mang Burhan sampai menarik tangan Yanto dan membimbingnya ke salah satu kursi tamu.

PEMUDA YANG DIKAWINIWhere stories live. Discover now