18

169 32 5
                                    

"Ara, kamu boleh mengatakan semuanya."

Setelah keheningan beberapa saat, Noah akhirnya membuka suara. Sejujurnya aku merasa aneh dengannya. Perasaanku mengatakan bahwa Noah mengetahui semuanya. Seakan-akan ia melihat semua di balik kulitku.

Jika tidak, kenapa ia menanyakan hal itu?

"Aku hanya ingin bermain di sana sebentar, Noah~~" Aku memasang wajah melas dan menarik ujung pakaiannya pelan.

Urghhh, aku harus membuang harga diriku secara sempurna. Demi kelancaran rencana!

Noah tersenyum lembut, namun matanya mengisyaratkan hal sebaliknya. "Aku tahu kalau kamu tak akan melakukan sesuatu tanpa tujuan."

Waw, dari mana kepercayaan dirimu itu?

Aku menghentakkan kaki, bersandiwara layaknya anak kecil yang merajuk. "Aku hanya bocah empat tahun yang ingin bermain, Noah ih!"

"Tidak ada anak normal yang akan mengatakan itu sebagai alasan, Ara."

... Ughh dia benar-benar sulit ditaklukkan. Aku seperti berdebat dengan Grand Duke.

Aku jatuh dalam diam. Berpikir apakah ini ujung dari perjuanganku? Tapi, bagaimana jika semua yang mengusikku di mimpi ini menjadi kenyataan?

Aku tak ingin teror yang aku alami di mimpi menjadi realitas. Maka dari itu ... aku harus memastikannya. Aku harus menggagalkan awal tragedi yang terjadi di dalam mimpiku.

"Aku akan membantu, tergantung dari jawabanmu."

Aku mendongak. Kini wajah Noah terlihat lebih tenang. Ia kembali seperti biasanya saat menyapaku. Aura yang menekan tadi lenyap seakan-akan tak pernah ada di sana.

Bisakah aku memercayainya? Apa dia akan membantuku? Bagaimana jika ini hanya akal-akalannya sebelum melaporkanku?

Tapi entah mengapa hatiku tersenggol. Di lubuk terdalam, aku ingin memercayainya. Mengingat bagaimana ia selalu percaya padaku selama ini.

"Aku ...," menarik napas dalam lalu mengembuskannya, "ada sesuatu yang harus aku pastikan di sana. Jika tidak, aku akan merasa tidak tenang seumur hidupku."

Mengatakan tujuan utamaku, namun meninggalkan detailnya.

Aku mempercayai Noah, tapi tidak sampai di titik di mana aku akan membocorkan semuanya. Lagipula, ia pasti tidak akan mempercayaiku, bukan?

"Baiklah, aku akan membantumu."

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Dengan mulut sedikit terbuka, aku menatap Noah dengan mata membola. Tidak, bagaimana ia mungkin memercayai omongan bocah empat tahun? Hanya orang hilang akal yang percaya padaku!

"Kalau melakukan ini akan membuatmu lebih baik ... maka lakukanlah. Tapi, aku memiliki syarat."

Ah ya, jangan lupakan syarat menyebalkan. Apa yang akan dia minta? Uang, kah? Kue? Atau jang--

"Tolong bawa Liam bersamamu."

Huh?

Tunggu, kenapa Liam harus ikut denganku?

Menyadari kebingunganku, Noah langsung menyambung ucapannya, "Kalau dia tetap di sini, rencanamu akan kacau balau. Kamu tahu sendiri Liam bagaimana, bukan?"

Ah ... ya, bocah tempramen itu tak bisa ditinggalkan. Rencana ini akan sia-sia kalau Liam membuka mulut embernya itu. Lagipula aku meragukan kualitas aktingnya, yang tentu saja inferior daripada Noah.

"Juga dia juga cukup kuat," tambahnya.

Aku mengangguk. "Baiklah." Aku tersenyum lembut. Perasaan senang kini merambat di dalam dadaku.

Fragile FantasyWhere stories live. Discover now