----./----.//./.--./../.-../---/--.

3K 502 60
                                    

Cie, nungguin, ya?

Oke, siapkan hatinya dan bacalah.

¤¤¤


“CERDAS itu peduli, bukan menghakimi. Cerdas itu merangkul, bukan memukul. Cerdas itu menasehati, bukan mencaci maki. Cerdas itu berkaca diri, bukan merasa benar seorang diri.” –Giovano A Brillian

Tepat pada acara pelulusan murid Blue High School angkatan 32, murid Royal Class berdiri sebagai sepuluh murid terbaik. Masing-masing berdiri dengan mahkota—bagaikan ratu dan raja—medali, juga piala penghargaan. Dengan begitu bangga, tetapi masih menyimpan lara.

Ini perihal kehilangan. Hari yang seharusnya penuh dengan rasa kebahagiaan, justru malah penuh dengan kekosongan. Hari yang sebenarnya menakjubkan, justru terasa membosankan. Hari yang selama ini didamba, malah menjadi hampa. 

Skenario semesta semembingungkan itu.

“Bro!” Rangkulan dari belakang secara tiba-tiba, membuat seorang laki-laki yang sedari tadi melamun menjadi terhenyak.

“Hm?”

Nyengir kuda, siapa lagi pelakunya jika bukan Rigel Mugtara Pradipta. “Gak usah galau terus, gak bosen apa?” selorohnya.

Yang mendengar selorohan tersebut malah menghembuskan napas panjang. Bergerak melepas sebelah tangan Rigel yang bertengger di bahunya, kemudian menyandarkan bahu pada dinding.

Lagi-lagi Vano menghembuskan napas panjang, kemudian berucap dengan nada datar, “Gue yang salah, Gel. Gue gagal jaga cewek seberharga dia.”

“Oh iya, No. Semalem gue cuci darah, seharusnya hari ini istirahat tapi gue malah keluyuran. Udah itu, gue malah biarin penyakit lain kambuh. Bodoh banget, ya? Kalau diliat-liat, emang kayak nantangin malaikat maut.”

Vano menggertakkan giginya. Itu adalah moment ketika Vano mengetahui jika Adara disuapi makanan warteg oleh Rigel. Ketika bergegas ke rumah gadis itu, Adara sudah—lupakan.

“Bukan, itu perspektif—”

“Percuma gue berjuang, No. Pak Arga bilang hidup gue cuma sebentar lagi. Sama aja seperti divonis mati, 'kan?”

“—lo—”

“Percuma. Kalau waktunya mati, ya mati.”

“—yang—”

“Sial!” umpat Vano tiba-tiba. Benar-benar membuat Rigel yang baru saja membuka suara, menjadi mengantupkan mulutnya rapat-rapat.

Vano mengatur deru napasnya yang terasa memburu. Laki-laki itu menoleh ke arah Rigel lalu berkata, “Sorry.”

Setelahnya, Vano melangkah pergi tanpa berucap apa pun lagi.

Rigel menghembuskan napas kasar. Ekspresi laki-laki yang katanya selalu ceria itu, kini berubah dalam hitungan detik. Sebab, bukan hanya Vano yang merasa terluka. Rigel juga.

Rigel juga manusia, bukan robot yang dimodifikasi untuk selalu ceria.

“Ra, kenapa lo ngelukis kuburan? Emang lo lagi mikirin—”

Berarti waktu itu, Adara memang sedang mengingat perkara kematian. Laki-laki itu mengacak rambutnya frustrasi. Sudah tidak ada mahkota, apalagi toga. Rigel hanya memakai celana sekolah beserta kaus putih polos kebesaran.

Gerah, katanya.

Tanpa babibu, kepalan tangan Rigel meninju dinding yang tadi menjadi sandaran Vano. Namun setelahnya, Rigel menarik napas panjang-panjang dan menghembuskan perlahan. Laki-laki itu menitikkan air mata, tetapi segera dihapus menggunakan punggung tangan.

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang