47 || Penengah

276 110 5
                                    

Perjalanan ini sungguh-sungguh menguji kewarasanku. Derivea benar-benar membuatku kehabisan energi. Cobalah kalau kamu mau tahu.

Dan, kebetulan, soal penghabisan energi itu, kebetulan Derivea bukan tempat yang cocok untuk mengisi ulang energi lagi. Tempat ini benar-benar manipulatif dan toksik. Mereka semua seperti racun. Jadi rasanya, aku seperti lumpuh. Aku rasanya lumpuh karena kehabisan energi dan alasan untuk hidup. Aku dengan tubuhku dan pikiranku terasa seperti lumpuh. Seperti kosong, seperti mulai memberi batas-batas kepada dunia karena takut. Aku takut. Aku takut skenario dunia akan menyakitiku lagi, melepas nalarku sampai jadi gila betulan hidupku ini.

Tangisku mereda, begitu juga dengan emosiku. Sekarang, aku bisa berpikir jauh lebih jernih dari sebelumnya. Sejernih air dalam gelas di genggaman, yang baru saja Jason beri dari ruangan berlapis besi.

"Kami menemukannya." Ran Muda maju ke arah kami dan menyodorkan koper khusus itu.

Ran Tua yang sukses menenangkan Chris, berjalan mendekat masih sembari menggendong anak itu di punggung. "Tidak ada masalah, 'kan?" tanyanya.

Ran Muda langsung membuka koper itu dan mencoba menyalakan perangkatnya. Ran Muda dan Jason memandang penuh harap ke alat itu, tapi tetap saja, ia tidak mau menyala.

"Masih sama seperti awal kita sampai di sini, mereka menonaktifkannya."

Ran Tua mengesah pelan. Kesal. Ya, bagaimana tidak? Mereka selalu saja menghalang-halangi jalan keluar kami. Mereka si pembuat masalah.

"Kamu mau turun?" Tak lama kemudian Ran Tua menurunkan Chris dari punggungnya. Chris sudah berjalan dengan baik, kondisinya sudah lebih baik. "Hati-hati," lanjut Ran Tua sambil memperhatikan pergerakan Chris.

"Kita harus kembali ke ruangan Manda," putus Ran Muda, menutup lagi alatnya.

"APA?"

Ran Muda mengedikkan bahu pasrah. "Di sana pasti ada hal-hal yang kita butuhkan. Alat untuk mengaktifkan perangkat luar frekuensi mungkin."

Jason menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak setuju. Tidak setuju dengan keras. "Tidak, tidak. Itu terlalu beresiko kau tahu, 'kan?"

"Iya."

"Dan di luar sana mungkin ada banyak orang-orang militer yang berlari ke sini. Itu berbahaya, sangat berbahaya."

"Lalu kita bisa apa? Tanpa pengaktifan itu, lubang cacing ini tidak ada gunanya," tutur Ran Muda. Laki-laki itu duduk bersandar pada dinding lorong dengan wajah lesu.

Selanjutnya semua terdiam. Mereka diam. Mungkin, memang ini akhirnya. Kita tetap terjebak di frekuensi ini, terjebak di lorong ini. Kita tinggal menunggu waktu untuk dijemput dengan militer mereka. Nasib kita mungkin akan sama juga seperti orang-orang yang jatuh pingsan itu. Bisa saja mereka balik melemparkan bola itu ke sini.

Namun sebetulnya kalau boleh jujur, fokusku kurang ke arah mereka. Perhatianku justru jatuh kepada Chris yang jalan pelan-pelan ke sini, ke tempat aku duduk sambil memegang segelas air.

Jalannya lambat betul. Keseimbangannya belum benar-benar pulih. Ran Tua juga ikut mengawasinya dari dekat, takut-takut Chris jatuh.

Aku? Aku duduk saja di sini. Aku melihatnya saja dari sini.

Rasa untuk melindungi Chris, entah kenapa, sudah hilang. Mungkin karena aku juga malu terhadapnya. Emosiku juga berbahaya jika tidak terkendali, jadi, mungkin semestinya Chris juga lebih baik jika dilindungi dariku.

Tetapi anak itu gila betul, dia tidak takut sekali dengan seseorang yang nyaris membunuh orang lain. Chris tetap berjalan perlahan-lahan ke arahku dengan memerhatikan langkah kakinya agar bisa berjalan baik.

Setelah ia sampai, aku meneguk saliva mengetahui mata anak itu yang bengkak. Dan, salah satu penyebabnya karenaku. Menyedihkan sekali aku ikut berkontribusi atas kesedihannya di frekuensi sial ini.

Chris tidak banyak bicara. Dia cuma memandangiku dan entah apa yang ada di dalam pikirannya.

Dia cuma memperhatikanku. Matanya menusuk iris mataku. Aku jadi bingung dan canggung dan merasa bersalah.

Tidak lama begitu, Chris maju mendekatkan dirinya. Chris melangkah maju lagi pelan-pelan, dan ... anak laki-laki itu jatuh untuk memeluk tubuhku.

Mataku memanas. Rasanya sesak sekali ketika menyadari Chris masih mau memeluk seorang monster ini.

Chris masih tidak bicara apa-apa. Dia diam saja, tapi ia mengelus rambutku dengan lembut. Lembut sekali, seperti Ibu yang melakukannya ketika aku tak sengaja mendapat nilai buruk dengan angka di bawah sembilan puluh. Ibu akan melakukannya dan mengatakan ...

"Semua akan baik-baik saja, Jane," bisik Chris.

Dalam pelukannya, mataku kian memanas. Aku mati-matian mengontrol tangis agar tidak pecah dan mengacaukan semuanya seperti sebelum ini lagi.

"Tidak apa-apa," bisik Chris. Seolah-olah mengerti. Seolah-olah ia sudah dewasa dan pantas untuk menggantikan posisi Ibu lewat kalimatnya.

Lalu Chris merentangkan satu tangannya, mengajak Jason untuk mendekat.

Jason bergerak dengan lemas, lalu memelukku dan Chris dengan rangkulan tangan lebarnya.

Tidak berhenti di sana, Chris masih merentangkan satu tangannya, ia menunggu sampai kedua Ran mendekat juga.

Kulihat Ran Muda mengusap sesuatu di matanya, dan dengan canggung, laki-laki itu ikut beranjak mendekat. Begitu juga dengan Ran Tua.

Pada akhirnya, kami berlima saling berpelukan erat; saling menguatkan; saling mengisi energi bersama-sama. Seakan-akan makna dari pelukan hangat ini, seperti: apapun yang akan terjadi di depan sana, jika kita semua bersama, semua akan baik-baik saja.

Maka aku tidak lagi menangis pecah seperti orang gila sebelumnya. Tetapi tetap, air mataku yang panas itu jatuh satu per satu pada pipi.

Aku merasa terharu karena Chris adalah penengah kita semua. []

***

a/n: buat yang minta update lagi, this is for youuu! 😭

Hertz ✓Where stories live. Discover now