21🥀

623 112 67
                                    

Warning Typo📌
📍2k+ , Double up🤗





























Beberapa hari ini terlewati dengan indah bagi Farel Gibran, bagaimana tidak? Akhir-akhir ini bunda sering mengajaknya jalan-jalan, ngobrol bareng, dan sangat memperhatikan kesehatan Farel, katanya sih bunda sedih kalau sampai liat Farel pingsan lagi seperti waktu itu.

Farel menerima dengan baik semua perlakuan bunda, bukan hanya bunda semua keluarga Arsyanendra pun rasanya menaruh kasih sayang yang berlebih padanya. Farel senang? Tentu saja, dia jadi tau bagaimana rasanya keluarga dan hidup diantara mereka.

Farel tak sedikitpun menyesali atau membenci keluarganya yang hancur berantakan, tidak, dia masih bersyukur mempunyai mama Dinda dan papa Harris, karena mereka orang tua Farel, bagaimana pun perlakuan mereka kepadanya.

Malam ini seperti malam sebelumnya, setelah mengunjungi dan mengecek hotel miliknya, bunda mampir sebentar ke Caffe EL. Aldevaro yang biasanya tidak suka ketika bunda memperhatikan orang lain yang bukan anaknya pun kini hanya diam, lagian kenapa harus marah, dia senang menganggap Farel sebagai adiknya.

“el?”

Farel yang tengah membereskan meja caffe menoleh, tersenyum dan membungkuk sopan pada bunda Alana yang tersenyum teduh padanya, ditangan wanita cantik itu ada sebuah paper bag yang kini bunda ulurkan pada Farel.

“tadi di jalan bunda melihat sepatu bagus, bunda belikan untukmu”

Lagi-lagi bunda memberikan barang untuk Farel, dan seperti biasa pula Farel tidak ada hak untuk menolak, “terimakasih nyonya”

“semoga ukurannya pas ya el, tapi kalau seumpama tidak cukup, nanti kasih bunda, biar bunda tukar”

.
.
.

Berbeda dengan Farel yang tengah mengobrol santai dengan bunda Alana, Devan malah kini tengah memperlihatkan wajah dinginnya pada wanita yang kini berdiri dihadapannya. Mama Dinda memaksa untuk berbicara dengan Devan, bahkan dia memohon kepada pak Hasan agar Devan diberikan waktu sebentar untuk mengobrol dengan mama Dinda.

“apa lagi si ma?” Devan bertanya dengan kesal, akhir-akhir ini mama Dinda berubah, namun perubahan itu bisa dibilang perubahan yang baik

“kalau mama dateng ke rumah kamu, pasti abang nggak mau bukain pintu buat mama, jadi maaf kalau mama ganggu waktu kerja kamu”

“iya terus mama mau apa?”

“bang, seandainya kamu terlalu berat jika harus membayar rumah kontrakan satu bulan sekali, abang bisa kembali ke rumah nenek saja, kita tinggal bersama disana-“ mama Dinda berucap mantap tanpa keraguan, sorot matanya menjelaskan itu semua

Mama dinda kemudian menarik kedua telapak tangan bang Devan menggenggamnya dengan lembut, “mama, adek, sama abang”

Tinggal bersama bertiga, mama Dinda sudah meminta kepada Devan beberapa hari lalu, tapi Devan dengan tegas menolak, dia hanya ingin tinggal bersama adiknya saja, hanya dengan Farel, bukan yang lain.

“terus? Setiap hari para penagih hutang itu akan mengganggu tidurku? Terimakasih tawarannya, tapi saya menolak”

Dan lagi, bang Devan menolak tawaran yang sebelumnya diajukan oleh mama Dinda, padahal niat mama Dinda baik, dia tidak ingin Devan terlalu memaksakan diri, setidaknya jika tinggal di rumah peninggalan nenek, Devan tak perlu membayar uang sewa perbulannya.

Tapi yang dikatakan bang Devan sebagai bentuk penolakan juga benar, selama ini banyak penagih hutang yang datang dirumah mendiang nenek, papa Harris yang memberikan alamat itu kepada para penagih hutang, makanya mereka selalu datang, dan mama Dinda-lah yang harus menghandle semua penagih hutang itu.

AlfarezelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang