19. Memory

2.2K 115 4
                                    

Kania merebahkan tubuhnya ke samping. Dengan kepala yang terasa semakin pening, ia mencoba meraih gelas minum di nakas. Dadanya terasa sakit seakan ada pisau yang menghunjamnya. Beberapa kali dia kedapatan meraba dadanya. Mencoba menyingkirkan rasa sakit itu, namun hasilnya gagal. Rasanya semakin sakit dan membuat air matanya turun kian semakin deras. Seluruh tubuhnya mendadak lumpuh.

Panggilan suara seorang perempuan beserta laki-laki saling bersahutan sana sini. Mencekiknya sekaligus membuat kepalanya dipenuhi oleh suara-suara aneh. Tangannya masih terulur mencoba mengambil sesuatu di nakas. Sebelum akhirnya tubuh Kania benar-benar jatuh dari ranjang. Membuatnya meringkuk dalam ketakutan.

"Kania... Kania... kamu denger kan?" Suara itu membuat Kania mendongak. Mulai memaksakan diri melihat wajah dibalik suara itu. Matanya perlahan terbuka dalam air mata dan ketakutan. Sebelum akhirnya menangkap wajah Devan di sana. Wajah yang menunjukkan kekhawatiran. Semuanya terlihat sangat jelas. "Kamu kenapa sih ... Kokkk?"

Kania mengerjapkan mata beberapa kali. Seakan memastikan yang dia lihat benar-benar Devan. Lalu tanpa basa basi menghamburkan pelukan. Meredakan rasa sakit dan juga rasa takut yang menggema di kepalanya.

Devan hanya bisa tertegun. Bukan seperti Kania yang dia kenal. Kania yang pemberani. Kania yang ambisius. Kania yang jutek. Kania yang enggan sekali memeluknya seperti ini. Kania yang bahkan tidak pernah menangis. Semua itu dikuasai oleh Kania yang saat ini sedang menangis ketakutan seperti bayi di dalam tubuh orang dewasa.

Pelan-pelan Devan melepaskan pelukan yang semakin erat. Mencoba bergerak, namun Kania sama sekali tidak memberinya kesempatan sedikitpun. Jujur saja Devan menjadi sangat ketakutan sekarang. Apalagi dengan pelukan yang justru seperti ingin mencekiknya.

"Kani..." panggil Devan lirih. Mengelus surai rambut Kania dengan sangat pelan. "Ada aku di sini. Kamu tenang ya." Devan mengubah posisinya ketika Kania tiba-tiba melonggarkan pelukannya. Wajah Kania terlihat sangat kacau bersama piyama kedodoran. "Minum dulu ya?"

Buru-buru Devan meraih air di nakas untuk Kania. Disambut oleh anggukan sebelum akhirnya Kania tertunduk lemas. Air matanya keluar sangat deras membuat Devan semakin bingung harus mengatakan apa lagi. Hanya bisa memandang sosok yang kini terlihat sangat rapuh di hadapannya.

"Please.... jangan pergi..." racau Kania kemudian. "Gue takut... Gue takut sendiri...." Kania mencengkram pergelangan tangan Devan dengan sangat erat.

Devan tidak melakukan apapun. Hanya membeku di tempatnya. Rasanya sesak ketika melihat Kania ketakutan seperti itu.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Setelah mengerang dalam mimpinya, Kania tampak sangat kacau seperti ini.

Cukup lama sebelum akhirnya Kania bisa mengatur emosinya sendiri. Duduk dengan kepala mendongak. Memejamkan mata sampai sebelum akhirnya ia melihat Kania menghapus air matanya sendiri. Napasnya mulai teratur. Sekilas Kania menatap Devan, sebelum akhirnya tampak mengabaikan.

Melihat itu Devan ikut menghela napas. Duduk di samping Kania dan bersandar di tepi ranjang. "Aku bener-bener butuh penjelasan setelah ini."

Kania menoleh ke arah Devan.

"Aku tunggu sampai kamu siap ngomong."

Kania menghembuskan napas dalam. Bayangan ayahnya kembali muncul. Membuatnya benar-benar ketakutan. "Aku takut...."

"Aku di sini."

"Jangan jauh-jauh."

"Iya aku di sini. Nggak usah takut." Devan merangkul Kania yang kini sudah bersandar di pundaknya. "Kita tidur aja ya. Biar kamu nggak kecapekan besok." Tidak ada jawaban. Namun Kania sudah mengangkat tubuhnya untuk kembali tidur di ranjang. Membiarkan Devan ikut tidur di sana sambil memeluknya. Entah mengapa, itu yang justru membuatnya sangat nyaman. Tanpa sadar menyandarkan kepalanya membalas pelukan Devan.

By Your Side [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang