26. Tentang Devan

1.8K 82 9
                                    

Devan melemparkan tubuhnya di atas ranjang. Sedikit mendesah ketika merasakan sakit di dada sebelah kirinya. Puluhan jarum seakan menusuk hingga membuat tangan sebelah kirinya hampir kebas. Dia ingin memejamkan mata, melupakan rasa sakitnya. Keringat hampir membasahi seluruh tubuhnya. Dengan gerakan pelan, dia berbaring menyamping. Berusaha meraih tabung obat di sana. Sayang tangannya terlalu bergetar hanya untuk mengambil obat di nakas. Dadanya terasa sangat sakit kemudian. Yang bisa dilakukannya hanyalah berbaring, menangis, sekaligus berusaha menekan dadanya agar rasa sakit itu tidak kembali.

Samar-samar dia mendengar suara pintu unitnya terbuka. Seseorang entah siapa itu sebelumnya menekan asal password. Devan menjadi sangat lega begitu entah siapa itu berhasil menerobos masuk ke dalam unitnya.

Dahi Devan berkerut. Samar dia lihat Kania berdiri memandangnya panik. Merasakan tangan lembut Kania menepuk-nepuk pipinya. Sebelum akhirnya hanya ada bayangan hitam memenuhi kornea matanya. Pandangan tentang Kania kini hilang bersama bayangan hitam itu.

Devan ingat betul. Ini bukan pertama kalinya dia seperti ini. Melihat dirinya sendiri tidur di brankar rumah sakit dengan wajah yang sangat menyedihkan itu. Sementara seorang gadis berusaha berupaya untuk menyelamatkannya. Memberikan bantuan yang bisa dilakukan seorang dokter. Termasuk memasang alat-alat pernapasan yang membuat kepalanya terasa semakin ringan.

Sementara gadis lain berdiri di depan pintu ruangan berukuran 4x4 dengan keadaan yang masih terlihat syok. Tapi tetap masih terlihat sangat cantik bagi Devan. Gadis yang menyelamatkan nyawanya.

Tetap di sana Dev. Jangan kemana-mana.

Jangan tinggalin kita. Kamu denger aku kan Dev? Please jangan gini lagi.

Suara itu memenuhi indra Devan. Telinganya mendengarkan semua suara-suara aneh yang membuatnya berusaha tertarik kembali ke kesadarannya.

Kania nggak tau, Mah.
Tiba-tiba aja Devan gitu tadi.
Pas Kania coba bangunin, Devan cuma ngeracau nggak jelas.
Kita tunggu aja kenapa sih dokternya.
Masih ditangani juga
Dia ga bakalan kenapa-kenapa kok.

Devan mendengar semua dengan jelas. Bagaimana ketidakpedulian gadis itu dan juga sikap cueknya. Sangat menyakitinya. Rasanya lebih sakit daripada menghadapi ribuan jarum menusuknya.

Suara lain terdengar. Begitu Devan ingin berbalik. Menjauh dari semuanya. Bayangan Kia tertawa membuatnya tersenyum.

Om Evan, masa sih Kia dikasih boneka jenglot.
Ih ini kayak boneka jenglot tau.

Devan membuka mata. Begitu merasakan cairan dingin masuk ke dalam tenggorokannya melalui selang. Seorang dokter menoleh ke arahnya begitu dia sudah sadar. Dokter lain berusaha memegang tangannya. Mencoba bicara meskipun telinganya tiba-tiba tidak bisa mendengar.

Yang dia lihat hanyalah intruksi-intruksi yang tidak bisa dia pahami sama sekali.

"Ci?" Devan berusaha meloloskan suaranya meskipun rasanya itu tidak mungkin. Suaranya hanya terdengar seperti gumaman.

"DEV. Dengar ya, kamu harus istirahat," suara Citra berusaha terdengar. Membisikkan suara di telinga Devan. "Jangan banyak bicara dulu."

Terakhir kali Devan bertemu, Citra masih marah padanya. Devan tersenyum, "Maafin gue ya."

Citra tidak menjawab. Hanya mengangguk.

"Dev, gue nggak marah. Gue sadar kok kalau lo bukan siapa-siapa. Gue juga nggak pantas mengharapkan ini itu dari hubungan persahabatan kita. Itu yang bikin aku kesal. Tapi bukan kesal sama lo. Ini lebih kesal ke diri sendiri."

By Your Side [End]Where stories live. Discover now