16 | Enam belas

159K 18.4K 865
                                    

بسم اللّه الرحمن الرحيم

Vote dan komennya, tie!
-Semoga suka dan bermanfaat-

***


Acara resepsi kedua sudah selesai terlaksana dengan lancar di pondok pesantren. Sesuai yang pernah dibilang, banyak kerabat pesantren yang menghadiri acaranya. Dan itu membuat Sabrina kikuk sendiri merasa canggung. Bahkan saat di panggung resepsi pun, Sabrina hanya diam tak berkutik sama sekali. Terlihat wajah tegangnya dan itu membuat Arkan terkekeh.

"Tumben kalem, Ay."

Sabrina mendelik sinis pada Arkan yang barusan menyeletuk. Mereka baru saja masuk ke dalam kamar ndalem, atau lebih tepatnya kamar milik Arkan.

"Emang biasanya saya kalem kok," jawab Sabrina ketus.

Arkan hanya mengangguk. "Iya, percaya." Laki-laki itu melangkah dan duduk di atas kasurnya. Matanya menatap lurus ke arah Sabrina yang masih berdiri. Pakaian mereka belum berganti. Masih sama-sama memakai pakaian pengantin untuk resepsi tadi.

"Ini acaranya beneran udah selesai, kan? Gak ada acara-acara tambahan lagi nanti?" Sabrina bertanya yang dibalas anggukan oleh Arkan.

"Capek?"

"Menurut gus? Tiga hari berturut-turut acaranya kagak kelar-kelar. Heran. Perasaan yang lain cuma sehari atau dua hari."

Arkan terkekeh mendengar penuturan Sabrina. Memang benar. Jujur saja, ia juga merasa lelah sekarang.

"Ya sudah, lebih baik kamu bersih-bersih dulu. Saya mau keluar sebentar." Arkan bangkit. Mengecup kening Sabrina sekilas lalu berlalu keluar kamar. Meninggalkan Sabrina yang mendengus.

"Segala nyium-nyium. Dikira gue gak baper apa? Gak semua orang kuat, aih."

***

"Bang."

Arkan yang baru saja menutup pintu kamar menoleh saat merasa seseorang memanggilnya. Ia menaikan kedua alisnya. "Kenapa, Al?"

Ali terlihat gelisah di tempat. Seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi ragu, mungkin?

"Ali?" Suara Arkan kembali terdengar dan itu membuat Ali menghela napas panjang.

Laki-laki yang sebentar lagi menginjak angka 19 itu menatap ke arah Abangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Bang, Ali gak mau bilang ini ke Abang, tapi Ali gak tau mau minta tolong ke siapa lagi," ujarnya.

Arkan masih tak paham. "Coba yang jelas."

Ali membasahkan bibir bawahnya dengan lidah. "Ini--soal Kiran."

Raut wajah Arkan berubah datar saat mendengar ucapan adiknya. Tanpa kata ia melangkah pergi dengan Ali yang terus mengekori di belakang.

"Bang, tolong bantuin Ali," mohonnya.

Arkan menggeleng tegas tanpa menghentikan langkahnya. "Abang pernah bilang, kan? Abang tidak akan lagi ikut andil dalam masalah ini," ujarnya dengan sedikit penekanan.

Ali menahan pergelangan tangan Abangnya saat mereka tiba di belakang ndalem. "Bang, tapi Kiran butuh kita sekarang. Tadi Ali dapet kabar kalau orangtuanya Kiran berantem lagi dan hampir nyelakain Kiran sama kandungannya."

Arkan terdiam. Ia menatap mata Ali yang menatapnya penuh permohonan. Tak lama, helaan napas panjang keluar dari hidungnya. "Ali, sebaiknya kamu segera terus terang ke Abi dan Ummi lalu menikahi Kiran."

Astagfirullah, Sabrina! (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang