39 | Tiga puluh sembilan

115K 14K 430
                                    

بسم اللّه الرحمن الرحيم

Vote dan komennya, tie!
-Semoga suka dan bermanfaat-

***


Satu hari sebelum pergi ke Sukabumi, mereka menyempatkan berkunjung ke rumah Aba dan Umma Sabrina setelah sekian lama tidak bertemu. Terakhir saat Aba dan Umma ke pesantren menjenguk Kahfi. Itu pun mereka yang ke sana bukan Arkan dan Sabrina yang menjenguk.

Saat mobil terparkir, Sabrina langsung turun dan berlari masuk ke dalam rumah, meninggalkan Arkan yang hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"ABAA! UMMAA! INA IS COMING!"

Sabrina mengedarkan pandangannya dan tersenyum saat melihat dua orang tersayangnya yang tengah duduk bersantai di sofa ruang keluarga. Keduanya tampak kaget melihat kehadirannya karena memang Sabrina tak bilang lebih dulu akan datang berkunjung.

"Ina?" Umma tersenyum senang dan itu tertular pada Sabrina.

Perempuan itu langsung berlari menubruk tubuh sang Umma dengan pelukan. "Ummaaa! Umma pasti kangen Ina kan? Iyalah Ina kan ngangenin!"

Mendengar itu satu jitakan pelan langsung mendarat sempurna di dahi Sabrina.

"Kata siapa? Umma lebih kangen mantu ganteng umma. Mana si kasep?"

"Assalamualaikum."

Atensi mereka teralihkan. Dengan santai Umma melepas pelukannya dengan sang putri lalu beralih pada menantunya yang baru datang itu.

Umma tersenyum, tangannya menepuk kedua bahu Arkan. "Waalaikumsalam. Apa kabar, kasep?"

"Umma! Jangan lupa itu suami Ina!"

Umma sih cuek aja. Saat Arkan menjawab pertanyaan tadi, wanita itu langsung menuntun sang menantu untuk duduk di sofa. "Ayo, duduk, duduk. Mau minum apa?"

Hal itu tentu membuat Sabrina menggerutu kesal. Ia menatap sang Aba yang justru terkekeh. Sabrina memasang wajah melasnya. "Abaa.." rengeknya.

Aba tertawa. Pria paruh baya itu merangkul bahu sang putri lalu mencium puncak kepalanya. "Biarin, kamu sama Aba."

Sabrina tersenyum. Ia menatap ke arah Arkan lalu memeletkan lidahnya membuat Arkan menaikkan sebelah alisnya lalu terkekeh.

"Kenapa gak bilang mau dateng?"

Pertanyaan Umma mengambil atensi Arkan dan Sabrina. Mereka duduk di sofa bersebrangan dengan Aba dan Umma, tapi setelahnya Sabrina bangkit dan pindah duduk diantara kedua orangtuanya itu.

"Ih, kamu kenapa sih? Nyempil-nyempil gini," protes Umma.

Sabrina memajukan bibirnya. Masing-masing tangannya merangkul lengan Aba dan Umma. "Ya kan Ina kangen sama kalian ceritanya, masa gak boleh sih?"

"Ya Allah, Ina. Gak malu diliatin Arkan?"

Sabrina mengedikan bahunya acuh sebelum menyandarkan kepalanya di bahu sang Umma. "Ngapain malu, sama suami sendiri ini."

Umma menggeleng seraya menghela napasnya. "Mending kamu bantu Umma buat minum sama makanan deh, Na. Ayo."

"Mager, Umma."

"Heh, gak boleh mager. Udah jadi istri gak boleh mager! Ayo, ayo!" Umma bangkit lalu menarik tangan putrinya.

Sabrina hanya bisa pasrah mengikuti. Sedangkan Aba dan Arkam terkekeh melihat tingkah Ibu dan anak itu.

Saat kedua perempuan berbeda generasi itu sudah tidak terlihat, Aba beralih menatap Arkan. "Kabar keluarga sama pesantren gimana, Nak?"

Arkan tersenyum. "Alhamdulillah, baik, Aba. Untuk masalah, pasti ada, tapi Alhamdulillah masih bisa diatasi," jawabnya.

Astagfirullah, Sabrina! (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang