38 | Tiga puluh delapan

117K 14.5K 948
                                    

بسم اللّه الرحمن الرحيم

Vote dan komennya, tie!
-Semoga suka dan bermanfaat-

***

Malam besoknya, Arkan, Sabrina, Ummi, Zahra dan Ali terlihat berkumpul di meja makan ndalem. Ada sesuatu yang ingin Arkan sampaikan. Soal Zahra, seperti biasa, perempuan itu menginap karena sang suami yang dinas keluar kota.

"Ali."

"Kenapa? Abang mau jodohin Ali sama Lia?"

Bukan hanya Arkan yang terkejut, Sabrina, Ummi dan Zahra pun sama. Mereka sama-sama menampilkan ekspresi terkejut membuat kekehan sinis terdengar dari Ali.

"Kamu denger itu darimana, Ali?" Arkan bertanya dengan wajah masih terkejutnya.

"Gak usah nanya Ali tau darimana. Intinya sekarang, kenapa Abang lakuin itu? Jodohin Ali? Abang tau sendiri, Ali gak suka dikekang. Ali punya pilihan Ali sendiri. Abang juga tau, Ali baru kehilangan Kiran. Kenapa Abang main jodoh-jodohin Ali? Kena—"

"Sebentar, Ali, dengar Abang. Perjodohannya juga belum benar-benar deal. Abang tidak akan memaksakan kamu. Ini juga hak kamu, Abang serahin semua akhirnya ke kamu. Kalau kamu tidak setuju, ya sudah, perjodohan akan dibatalkan," potong Arkan.

Kepala Ali mengangguk. "Bagus. Tapi, bukannya Lia suka sama Abang? Kenapa gak Abang aja yang nikah—"

"Ali!" Arkan memotong dengan tegas. Ia menatap Ali yang tengah tersenyum sinis. "Abang dan Lia saudara sepersusuan, kamu tau itu."

"Lagipula, Abang sudah memiliki Sabrina."

Ali mengangguk-anggukan kepalanya. "Ya, ya, ya, seorang pangeran yang selalu mendapatkan apa yang dia mau."

"Ali? Kamu bicara apa, Nak?" Kini, Ummi membuka suara. Suara lembutnya membuat suasana yang panas seketika mendingin. Tapi tidak dengan hati Ali.

Laki-laki itu kembali terkekeh sinis. Ia mengedikan bahunya lalu bangkit dari duduknya. "Tanya sendiri. Ali rasa Abang belum lupa."

Setelah itu, Ali beranjak meninggalkan tempat. Meninggalkan keheningan di lingkup meja makan.

Arkan menghela napas panjang. Rupanya rasa itu masih ada di hati Ali.

"Arkan?"

"Iya, Ummi?" Arkan mengangkat kepalanya membalas tatapan Ummi. Bukan hanya Ummi, ia juga turut melirik ke arah Zahra dan Sabrina yang juga menunggu jawabannya.

Arkan kembali menghela napas panjang sebelum ia menceritakan kenyataannya.

"Abang, kapan Ali bisa dapet apa yang Ali mau? Apa karena Ali anak bungsu, Ali gak berhak dapetin apa yang Ali mau?"

Arkan yang semula fokus pada kitabnya itu menoleh mendengar pertanyaan tak terduga dari adiknya. "Maksud kamu?"

Ali menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa. "Abang selalu dapet apa yang Abang mau. Abi dan Ummi selalu turutin apa mau Abang. Abi dan Ummi juga serahin semuanya ke Abang. Abang bebas memilih. Abi dan Ummi selalu prioritaskan Abang dan Kak Zahra daripada Ali. Urusan Ali, urusan belakangan. Selalu kayak gitu."

Arkan menggeleng. Ia menutup kitabnya lalu menaruhnya di atas meja. Fokus Arkan saat ini benar-benar tertuju pada Ali. Arkan menatap serius mata Adiknya itu.

"Dengar, buang jauh-jauh pemikiran kamu itu, semua tidak seperti yang kamu bayangkan. Abang, Kak Zahra, kita gak sebebas yang kamu kira. Abang dan Kak Zahra tetap ada pada pengawasan Abi dan Ummi. Abi dan Ummi serahin semua ke Abang karena Abi dan Ummi sayang sama kamu. Abi dan Ummi mau yang terbaik buat kamu, makanya mereka lebih protective ke kamu."

Astagfirullah, Sabrina! (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang