Upacara

5 1 0
                                    

Beberapa rangkaian upacara telah dilaksanakan, sekarang giliran bagian yang paling membuat banyak murid kesal diantara semuanya.

Amanat pembina upacara.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan rangkaian tersebut. Lebih tepatnya 'siapa' yang mengambil amanat yang membuat para murid kadang merasa kesal dan dongkol. 

Sialnya, ini adalah upacara pertama dalam semester baru. Otomatis atau manual, Pak Kepala Sekolah yang akan mengambil alih tugas sebagai pemberi amanat. 

Begitu beliau menaiki mimbar, raut wajah peserta mendadak suram. Sesekali terdengar bisikan-bisikan dan helaan napas tidak ikhlas. 

Huh sial, pasti panjang amanatnya.

Belum lagi, alam seolah berpihak pada pak kepsek. Setiap kali beliau yang mengambil upacara, langit menjadi sangat cerah. Tak satupun awan menghiasi langit biru diatas sana, mengakibatkan matahari bersinar dengan terik. Menerangi barisan para murid-murid dan membuat mata silau.

Di barisan paling belakang, Radit mengelap peluh. Cowok tinggi itu tak bisa bergerak banyak. Soalnya Radit adalah yang paling tinggi di barisan kelasnya, tiap gerak-gerik yang ia lakukan pasti akan jadi sorotan para guru dengan mudah. Seperti tiang listrik diantara pohon-pohon rindang.

Keringat yang keluar bukanlah karena kepanasan, melainkan keringat dingin. Sejak awal upacara perasaan Radit sudah tidak enak, penglihatannya kunang-kunang. Namun, entah bagaimana ia masih bisa bertahan hingga ke titik ini. 

Ayo Radit, sedikit lagi! gumamnya.

Pagi ini, Radit tidak sempat sarapan. Jarak rumahnya yang jauh membuatnya terpaksa meninggalkan sarapan dan memaksakan diri berangkat ke sekolah dengan perut kosong. Sesampai di sekolah, ia juga tak sempat untuk membeli sepotong roti sekedar mengisi perut. Mau tidak mau, Radit mengikuti barisan upacara.

Sepuluh menit berlalu, dan amanat Pak Kepsek belum menunjukkan tanda-tanda akan selesai.

UGH!!!

Penglihatan Radit semakin tidak karuan, mimbar tempat Pak Kepsek berdiri entah kenapa sekarang tumbuh kaki. Tidak, amat mustahil pikir Radit. Kakinya melemah, mulai tak sanggup menopang tubuhnya untuk berdiri dengan tegak.

Radit mencolek Jaka yang kebetulan berdiri di depannya.

"Jak."

"Nape lu?"

"Kira-kira Pak Kepsek masih lama gak?"

"Kok nanya gue, tanya Pak Kepsek lah."

Radit mencolek Jaka untuk kedua kalinya.

"Jak."

"Apa lagi?" Jaka menoleh dengan malas.

"Kalau gue pingsan, tangkap gue ya!"

Jaka diam sejenak, memperhatikan wajah Radit yang sudah pucat pasi.

"Aman deh." Dia mengacungkan jempol, kemudian bertukar posisi dengan Radit dengan senyap.

Radit lega, setidaknya kemungkinan ia pingsan dan kepalanya menghantam lapangan lalu berakhir geger otak berhasil dihindari. Kini Jaka di barisan paling belakang, setidaknya kalau Radit sampai tumbang ada orang yang akan menangkap tubuhnya dari belakang. Kalaupun meleset, setidaknya Radit terjatuh di murid yang ada di depannya.

Sepuluh menit kembali berlalu, Pak Kepsek juga belum menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri siramah rohani di atas mimbar sana. Cahaya Matahari sempurna menyinari barisan seluruh murid, membuat hawa sejuk pagi berubah seketika menjadi terik. Mulai terlihat kegelisahan diantara barisan-barisan.

Sementara itu, kaki Radit semakin melemah. Pandangannya sangat buram, dia bahkan sudah tak bisa melihat wajah Pak Kepsek dengan jelas. Bumi seolah berputar-putar, keseimbangan Radit perlahan menghilang.

Ah... selamat tinggal, rekor tidak pernah pingsan selama 17 tahun.

BRUK!

Jaka tiba-tiba ambruk, kepalanya menabrak punggung Radit dari belakang.

...

...

"LAH, MALAH ELU YANG PINGSAN WEI!!!"


-Corner-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang