Bab 40 : When the Darkness Over Me

40 11 0
                                    

[Edited]

BAB 40
[The Author]
- When the Darkness Over Me -

RECOMMENDED SONG: Thomas Day - Not My Job Anymore.

Vanilla dorong pintu gubuk di depannya hingga terbuka lalu melenggang masuk ke dalam. Abidzar menoleh seraya refleks langsung duduk tegak di sisi dipan. Cowok itu berdeham gugup.

Vanilla pun berjalan mendekat, duduk di samping cowok itu. Mereka diam-diaman cukup lama.

"Abi." Itu suara Vanilla untuk kali pertama.

"Cukup Abidzar." Abidzar menoleh, begitu juga Vanilla. "Aku sadar, kamu bukan lagi milik aku." Abidzar menjeda, ia tertawa getir dan payah. "Vanilla."

Vanilla meneguk ludah. Terperangah dengan ucapan itu.

"Bi..."

Lagi, senyum getir cowok itu sunggingkan kepada lahan kosong di depan sana.

"Bener kata Bunda, kalo aku itu udah kenal cinta, suka-sukaan, aku bakalan berubah jadi tolol, Vanilla." Abidzar melebarkan senyum ironis ke arah Vanilla yang saat ini berekspresi tidak kalah ironis. "It's not something I can predict, Vanilla. Apparently I was wrong again. The prediction that what I did wouldn't exceed the existing limits, akhirnya malah jadi sesuatu yang menyakitkan. Much more painful."

Mata Vanilla memerah.

"George Addair bilang kalo "everything you've ever wanted is sitting on the other side of fear". I mean, "to get what you want, you just need to get past your fear". Itu yang Arsya bilang ke Freya waktu itu. I remember, Vanilla. It's sucks," ujar Abidzar. "Aku terus bertahan pada masa kini tanpa melihat masa lalu, kita. Aku, ataupun kamu. Aku mencoba untuk enjoy dan berpikir bahwa semuanya akan terus baik-baik aja. Kata-kata itu relate banget. Dan rupanya, aku seegois itu, kan?"

"Abi, enggak kok..."

"Aku bukan rumah buat kamu. Tepatnya, rumah singgah. Am I right?" Vanilla menggeleng tragis.

"Ayo putus, Van." Untuk kali kedua, Vanilla terperangah. Ia menggeleng keras-keras sembari terisak pelan.

"Lagian aku udah kehilangan semuanya. Kehilangan satu kali lagi mungkin nggak apa-apa."

Abidzar bangkit. Ia mengeraskan rahangnya, membelakangi Vanilla. Setelahnya, ia langkahkan kakinya untuk keluar dari dalam gubuk.

Abidzar buka pintu renggang itu dan melangkah keluar. Tiba di luar sana, ia bertemu Arsya yang menatapnya.

"Kamu putus?" tanya Arsya to the point begitu Abidzar baru saja melewatinya beberapa langkah tanpa berkata-kata.

Abidzar berhenti. Melirik arloji yang melilit pergelangan tangan putihnya. Ia pun berkata, "Jam delapan." Wajahnya pucat. "Pelabuhan nggak jauh lagi, kok."

Arsya bergeming.

"Kamu putus?" ulangnya.

Abidzar ikut bergeming. Tapi setelahnya, ia tersenyum sinis. Cowok itu pun berpaling ke arah Arsya yang menatapnya dengan alis sedikit menukik, menuntut jawaban serta penjelasan atas pertanyaannya di atas.

"Penting, ya? Sampe kamu harus tahu?"

"Saya cuma tanya itu. Jawabannya 'Ya' ataupun 'Tidak'--

"Ya," jawab Abidzar cepat. "Ya, aku putus."

"Mudah bagi kamu?" tanya Arsya. "Mudah bagi kamu mengatakan putus gitu aja, saya tanya?"

Abidzar terpaku. Sorotnya tidak terbaca sama sekali.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang