Bab 41 : With Love, Abidzar • [Sp]

54 14 2
                                    

[Edited]

BAB 41
[The Author]
- With Love, Abidzar -

“Abidzar, hei, Abidzar! Kamu denger saya?” tanya Arsya. Ia dekatkan bibirnya ke telinga cowok Husein itu. Sementara tangis Vanilla sudah memenuhi ruangan gelap itu.

“Abidzar.”

Vanilla menggeleng. Mulutnya terus meracau kata ‘Abi’ dan ‘Abi’ berulang kali. Entah berapa kali sudah ia terus meracaukan nama itu. Vanilla hanya ingin satu, Abidzar membuka matanya dan berbicara dengannya.

“Hei, Abidzar. Bangun.”

“Abi… Abi, Abi, Abi, bangun!”

Sesak, dada Vanilla sesak. Bahkan suaranya menghilang-hilang. Dadanya terlalu penuh sekarang, seperti habis ditumbuk oleh ribuan godam. Itu membuatnya menjadi seorang cewek yang rapuh sekarang.

“Zar.”

Abidzar terbatuk darah. Sementara matanya masih terpejam. Air mata mengalir di sudut matanya, jatuh ke atas permukaan dipan.

“Bi!” seru Vanilla sembari menghapus air matanya dengan kasar. Setelah itu, tanpa ragu, segera ia tarik tubuh cowok itu ke dalam dekapannya, mendekapnya erat-erat.

Abidzar bergeming di pundak Vanilla. Kedua kelopak matanya membuka perlahan. Hanya ada air mata yang tampak di sana.

Ketiganya bergeming selama beberapa menit, hingga suara Vanilla yang masih terisak mendekap Abidzar membuka obrolan dengan pertanyaan, “Kenapa aku nggak tahu kalo Abi luka?” dengan suara serak yang enak didengar. “Apa sebegitu enggak pedulinya aku sama Abi sampe Abi luka pun aku nggak tahu?”

Abidzar bergeming dengan sorot lirih. Sedangkan dagunya menempel di pundak kanan Vanilla yang juga sama rapuhnya dengannya sekarang.

Mana Abidzar yang tangguh sehingga harus tampak sekarat sekarang?

“Kalo kamu udah capek…” lirih Abidzar. Suaranya serak dan lemah. “Please just let it go.”

Vanilla menggeleng lambat, air matanya kembali merembes. Tapi tidak ada satu kata pun yang mampu keluar dari bibir tipisnya saat ini. Ia tidak mampu.

Leave me here.”

Lagi, gelengan Vanilla berikan sebagai jawaban penolakan.

“Enggak, Abi…”

“Nggak papa. Lepaskan…. lalu tinggalkan.” Abidzar menjeda. “Begitu caranya hidup, Vanilla.”

Vanilla tersedu. Tangisnya yang semulanya tenang kini mulai terdengar berisik. Sedang Arsya hanya mampu berjongkok di bawah, menundukkan kepala tanpa bisa berbuat banyak.

“Makasih udah pernah suka sama aku.” Abidzar menjeda ucapannya sebentar, hanya untuk bernapas dengan normal. Nyatanya, relung dadanya perlahan sesak. ‘Kamu kenapa, Zar? Berlagak sok tangguh padahal lemah?’ “Lalu jadian sama aku… kasih momen yang indah, terus buat aku ketar-ketir takut kehilangan kamu…” Abidzar melebarkan tawanya. Giginya yang putih berlumur darah. Jika bisa tersenyum lebar sekarang, kenapa tidak?

“Terus kamu buat aku kenalan sama temen-temen kamu… makasih juga karena kamu dan temen-temen kamu udah ajak aku nongkrong dan bolos pelajaran… dan makasih, karena kamu udah memperkenalkan aku gimana caranya mengenal dunia. That’s awesome, Vanilla Hastings.”

Vanilla meraung. Air matanya banjir, membasahi bajunya.

Shit,” umpat Vanilla. Terus ia dekap tubuh itu erat-erat. Semakin erat kian detiknya, hingga tanpa sadar, dekapan tangan Abidzar tak kuat lagi seperti sebelumnya.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang