Bagian Pertama

2.1K 281 246
                                    

Assalamu'alaikum, halo apa kabar semua?

Aku kembali, hehe.

Setelah sekian lama nggak nulis di sini, aku datang dengan cerita baru. Cerita yang semoga bisa aku selesaikan di sini, seperti Trilogi Senior.

Selamat bertemu dengan Hana. Semoga kalian menyukai ceritanya.

Aku juga minta dukungan kalian untuk cerita ini dengan vote, komen, dan share ke media sosial ya teman-teman.

Terima kasih banyak, dan selamat membaca semuanya❤️


📚📚📚


Pandangan gue masih mengarah pada sekumpulan orang yang sedang tertawa di salah satu meja, di sudut kiri restoran. Tiga dari enam orang saling melempar candaan, dan sisanya terlihat sibuk merekam untuk dijadikan bahan postingan di Instagram.

Tawa lepas yang terdengar dari mereka membuat sudut bibir gue melengkung dengan sendirinya, meski nggak tahu kenapa di waktu yang bersamaan dada gue terasa sesak—hingga gue nggak bisa menahan air mata yang tiba-tiba ingin keluar.

Ketika gue memilih mengalihkan pandangan pada kursi kosong di hadapan, gue baru menyadari bahwa kegembiraan seperti di meja itu udah nggak pernah gue rasakan lagi sejak beberapa tahun terakhir. Teman-teman gue udah bahagia dengan kehidupan baru mereka. Dan room chat di WhatsApp gue—seperti biasa—hanya menampilkan kontak Baba, Ummi, Mbak Dayatri, dan grup-grup yang gue mute untuk selamanya.

Selama ini gue berusaha keras untuk nggak melibatkan diri gue ke kehidupan orang lain. Tapi jujur, gue merindukan masa-masa di mana masih ada orang yang mau memanggil nama gue dan menjadikan gue sebagai tempat untuk mencurahkan isi hatinya. Gue udah terlalu lama mengejar apa yang ingin gue capai, sampai-sampai gue nggak tahu bagaimana dunia berjalan dari sudut pandang orang lain.

"Hana?"

Gue menoleh ketika seseorang memanggil nama gue, dan kaget waktu tahu bahwa orang itu adalah Sabian. Dia teman sekelas gue waktu SMA, sekaligus cowok yang gue suka selama tiga tahun berada di sana. Dia berdiri di samping meja gue dengan kedua tangan memegang nampan berisi 2 double beef burger, 1 french fries berukuran large, dan 2 minuman bersoda.

"Hai, Bi! Apa kabar?" Gue buru-buru mengusap mata dan berdiri menyapanya.

"Baik. Lo sendiri, apa kabar?"

"Baik juga." Gue mendadak bingung mau ngomong apa lagi ke Sabian. Mungkin karena gue agak pangling melihat perubahan fisiknya yang sekarang jauh lebih tinggi dan tegap dari terakhir gue melihatnya. Perubahan yang paling mencolok sebenarnya terletak pada warna kulitnya yang kelihatan lebih cerah. Sabian juga mengganti gaya rambutnya—yang dulu selalu berjambul—menjadi french crop ala top model luar negeri.

Hanya dua hal yang sama sekali nggak berubah dari Sabian, yaitu tatapan hangat dari mata teduhnya dan senyum manisnya yang dulu selalu membuat jantung gue berdebar cepat tiap kali melihatnya.

Gue benar-benar nggak expect sih bakalan ketemu dia di restoran umum kayak begini. Maksud gue, dia Sabian! Cowok yang dulu mewarnai hari-hari gue di masa SMA. Cowok yang bikin gue melakukan banyak hal supaya dia bisa melihat perasaan gue. Meski pada akhirnya semua usaha yang gue lakukan nggak berakhir manis kayak usaha Nam ke Shone di film Crazy Little Thing Called Love. Sabian lebih memilih pura-pura nggak tahu tentang perasaan gue ke dia—ketika dia tahu kalau gue sayang banget sama dia.

Up and DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang