BRUNCH

320 100 9
                                    

"Semua baik-baik aja. Semua pasti baik-baik aja,"

***


Pagi ini, pemilik nama lengkap Ari Irsandi itu sudah berada di ruang staf. Pemuda yang rumahnya dua blok dari rumah Mala itu, duduk di depan menanti Mala untuk memanggilnya. Sementara Mala masih mengkonfirmasi pada Arif yang hari ini masih penuh kesibukan. Arif tidak bisa melakukan interview pada Ari.

“Saya yakin, keputusan kamu merekrut dia sudah tepat. Tetapi, bukan untuk staf. Sementara ini dia bisa mulai untuk jadi buruh sebagaimana kebutuhan kita dari awal. Setelah ini saya akan mempertimbangkannya lagi,” jelas Arif.

“Mas, keliatan pucat, udah makan tadi?” tanya Mala.

“Seingat saya udah, sih.” Jawaban Arif membuat Mala khawatir meski lelaki itu tersenyum.

Lelaki yang hari ini berpakaian serba putih dari kemeja hingga sepatunya itu, meninggalkan ruangannya sambil mengambil blazer hitam dari kursinya. Mala pun meninggalkan ruangan itu dengan berjalan pelan. Memandangi meja dan kursi yang hari ini akan kosong seharian. Lalu, Mala memanggil Ari agar duduk di kursi depan mejanya.

“Maaf Ari, Pak Arif seminggu ini masih sibuk. Untuk saat ini merekrut kamu sebagai staf masih belum bisa. Jadi, hari ini kamu sudah bisa bekerja sebagai buruh,” jelas Mala.

“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Malah saya berterima kasih sekali. Soalnya uang kuliah semester ini masih nunggak jadi saya butuh uang lebih cepat. Lagian dari awal, Mbak juga memberi info lowongan buruh,” jawab Ari tetep tersenyum.

“Kamu sudah siap bekerja hari ini?” tanya Mala.

“SIAP!!” seru Ari semangat. Ari segera meninggalkan ruangan dengan langkah panjang. Untuk sementara Mala menyimpan berkas lamaran Ari di lacinya.

***


Mala sedang menilai hasil tes sertifikasi para karyawan senior. Waktu itu hampir saja jam sebelas. Lagi. Dia melihat ke arah ruangan Arif di balik dinding kaca itu. Meja dan kursi yang masih kosong. Terlintas bayangan Arif yang sedang sibuk bekerja di depan komputernya lalu melirik Mala sejenak. Tatapan itu.

“Apa gue bener-bener jatuh cinta?” bisik hatinya.

Dia mencoba memandangi kursi itu sekali lagi. Terlintas bayangan senyuman wajah Arif. Senyuman itu. Apa yang ada pada Arif begitu melekat di kepala Mala belakangan ini. Benar saja, bukan hanya jarak juga suka menjadi sebab datangnya rindu. Waktu yang terus melaju tanpa melihat siapa yang ditinggalkannya, juga menjadi sebab munculnya banyak tanya dalam pikiran. Pada akhirnya, waktu juga yang akan memberi jawabannya. Mala menuju kafe dan bertemu Maya bukan untuk makan siang. Meski tanpa sarapan, perut Mala sama sekali tidak merasakan lapar. Baru saja duduk di meja yang sudah Maya hidangkan fire chicken, ponsel Mala bergetar.

Getaran itu menyadarkannya kembali ke dunia nyata. Panggilan itu dari Abdul. Dia segera mengangkatnya. Suara Abdul tidak seperti biasanya. Mala bisa merasakan bibir Abdul yang bergetar dan perkataannya yang kurang jelas. Sirene ambulan dari luar membuat jantung Mala berdebar kencang. Bahkan dia tidak lagi mendengar perkataan Abdul. Para karyawan berhamburan di depan kantor. Mala segera bergegas keluar dan menuju kantor. Wajah-wajah karyawan begitu panik dan saling berkumpul menceritakan apa yang terjadi.

“Pak Arif...,” ucap seorang lelaki pada rekannya.

“Iya, bener Pak Arif..” ucap karyawan lain.
“Astaghfirullah, darahnya banyak banget!” seru seorang karyawan wanita pada rekannya dengan wajah gusar.

DINNER [AGT '22| TERBIT] ✓Where stories live. Discover now