CHAPTER TWENTY-THREE

65 17 2
                                    

Setidaknya, jangan pernah membuatku berharap lebih padamu, Ara.

~Bentala Ryan~

Sesuai janji kemarin, kini Ara sedang duduk anggun di atas rerumputan sembari memandang hamparan air danau yang jernih. Sangat menenangkan hati ketika mendengar suara air mengalir. Terhitung, dari matahari di atas kepala sampai hampir menjelang asar ia menunggu. Tapi, Iyan belum menampakkan batang hidungnya secuil pun.

Ara menghela napas, makanan di hadapannya sudah mulai habis. "Iyan kayaknya sibuk, deh. Apa gue pergi aja?"

Ara beranjak dari duduknya. Saat berbalik tubuh, Ara mendapati Iyan sedang berlari menuju ke tempat ia berada.

"Maaf lama," sesal Iyan dengan napas memburu.

"Baru pulang?" tanya Ara.

"Heem. Gue langsung ke sini setelah order."

Ara menepuk-nepuk tempat duduk yang ada di samping kanan. Entah dorongan dari mana Ara mendapat keberanian untuk mengelap keringat Iyan yang ada di pelipisnya menggunakan lengan baju.

Ara dapat merasakan napas Iyan terhenti, ia pun meliriknya untuk melihat apa yang terjadi pada Iyan. "Iyan kenapa?" tanya Ara setelah menyelesaikan menyeka keringat Iyan.

"Ah, enggak. Makasih." Iyan memalingkan wajahnya. Sungguh, jantungnya sekarang sedang berdetak tidak karuan.

"Minum dulu," titah Ara sambil memberikan sebotol air yang tersisa setengah lagi.

Iyan meneguk air dengan kasar, tenggorokannya benar-benar kering. Untung Ara peka. Menutup botol minum dan memberikannya kepada Ara ketika selesai menghabiskan air di dalam botol itu.

"Haus banget, yah?" tanya Ara sambil terkekeh. Iyan mengangguk, ia sedikit canggung untuk memulai pembicaraan. Apalagi ini adalah pertama kali bertemu setelah delapan tahun lamanya mereka tidak bertemu.

Kalau boleh jujur, Iyan mempunyai sedikit rasa rindu di hatinya. Hanya saja, ia terlalu malu untuk mengungkapkan hal tidak penting itu.

"Ini, gelangnya gue kembaliin." Ara mengembalikan gelang itu. Ia merasa bersalah karena telah melupakan Iyan dan Abhi.

Iyan tersenyum, lalu mengambil gelang dan memakainya. Di dalam otak Iyan sedang menyusun kata-kata agar tidak canggung seperti ini. "Kenapa pindah?"

Kalimat itu keluar begitu saja, padahal ia ingin menanyakan kabar terlebih dahulu. Dasar bodoh! umpatnya dalam hati.

"Ngikut mama," sahut Ara dengan santai.

Iyan mengangguk-anggukkan kepala, entah apalagi yang ia harus ucapkan.

"Bagaimana kabar kalian?" tanya  Ara.

"Kami baik-baik saja, ya walaupun agak susah ngejalanin hidup kek gini. Tapi, semenjak tinggal di Balarenik keadaan kami sedikit lebih baik daripada sebelumnya. Lo, gimana?"

Ara menoleh pada Iyan. "Fisik gue oke, tapi hati gue lagi gak oke," jawab Ara dengan senyuman miris.

"Kenapa?" tanya Iyan tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya.

"Semenjak nyokap dan bokap gue pisah." Mendengar hal tersebut, Iyan menoleh. Ia mendapati mata Ara mulai memerah.

"Butuh pelukan?" Tanpa kata lagi, Ara memeluk tubuh Iyan. Tubuh Iyan menegang, ia sedikit kaku.

Because He's BentalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang