CHAPTER TWENTY-NINE

51 16 2
                                    


Mata Ara menatap sekitarnya waspada, langkahnya dibuat sekecil mungkin agar tidak menimbulkan suara. Gadis itu keluar secara diam-diam setelah tidak di izinkan keluar dari kamarnya. Untung saja ia menyimpan kunci cadangan.

Ia menatap sekitar ruang tamu dengan tatapan bingung, tumben sekali tidak ada suara apapun. Biasanya mamanya sedang membaca majalah di sofa jika menjelang sore. Tapi, Ara tidak mau ambil pusing. Gadis dengan pakaian hoodie itu melangkah pergi.

Bosan juga Ara berdiam diri di dalam kamar tanpa melakukan aktivitas apapun kecuali scrool tiktok.

"Sejuknya," gumam Ara saat angin datang menerpa wajah yang mengakibatkan helaian rambut ikut bergoyang.

Tanpa menunda lagi, Ara segera pergi. Ia harus menjelaskan tentang perjodohannya kepada Iyan. Entah kenapa semenjak kejadian malam itu, Ara selalu terbebani oleh perasaan yang ia sendiri tidak tahu.

Ara takut Iyan akan marah dan berakhir tidak mau berteman lagi dengannya. Di jaman sekarang sangat sulit untuk mencari teman yang tidak bergantung pada good rekening dan good looking.

Setelah menempuh beberapa menit untuk menuju Balarenik, Ara turun dari angkutan umum ketika sudah membayarnya. Gadis itu menatap gerbang Balarenik yang ada di depannya. Ia menghela napas sejenak, kemudian melangkah masuk.

"Iyan," panggil Ara.

Di gubuk yang terbuat dari bambu dan atapnya terbuat dari jerami, seorang pemuda yang sedang tertawa dengan seorang gadis tiba-tiba terhenti. Iyan menengok ke arah samping.

"Ara?" lirih Iyan, dengan cepat ia memalingkan wajah ke sembarang Arah. Sialnya, ia malah melihat tatapan tajam dari Guru sastra.

Ara mendekat ke gubuk itu, entah kenapa hatinya berdenyut nyeri. "Bisa ngomong sebentar, gak?"

"Ngomong aja di sini, emangnya penting banget?"

Nada ucapan Iyan terdengar sinis di telinga Ara. Ia tersenyum, melirik sebentar kepada seorang gadis dengan berpakaian muslimah.

"Menurut gue penting."

Iyan beranjak dari gubuk itu. "Nazwa, gue tinggal dulu. Gak apa-apa, 'kan?"

Perempuan itu mengangguk. "Iya, lagian saya ada tugas sekolah yang belum dikerjakan."

Iyan menepuk pucuk kepala gadis bernama "Nazwa" itu dengan pelan. Hal tersebut tentu saja membuat mata Ara mendelik tak senang. Rasanya ingin sekali ia menarik tangan Iyan. Tapi sayangnya, ia takut menambah Iyan jauh darinya.

"Ayo, Yan," ajak Ara. Ia melangkah pergi lebih dulu dari Iyan karena malas melihat pemandangan di depannya.

'Gue kenapa, sih,' batin Ara.

Wajahnya begitu masam, ia membanting tubuhnya ke rumput yang ada di dekat danau. Tanpa sadar, tempat ini tempat ia dan Iyan pertama bertemu. Ah ralat, bukankah ia bertemu Iyan untuk pertama kalinya adalah memberi bekalnya di jalan.

Saat itu, ia melihat wajah Iyan begitu pucat dan badan kurus. Hati nuraninya menyuruh Ara untuk memberikan kotak makan yang hendak ia sentuh. Mengingat itu, Ara menarik sudut bibirnya sedikit.

"Ada apa?"

"Ayam telornya lepas," latah Ara akibat pertanyaan tiba-tiba dari Iyan.

Iyan terkikik mendengar latah random Ara. Sedetik kemudian, wajahnya kembali datar. "Ada apa, Ara?" tanya Iyan ulang.

"Gak. Kangen aja gue."

Sontak Ara menutup mulutnya. 'Anjir, kenapa malah kata itu sih yang keluar!' gerutunya dalam hati.

Because He's BentalaWhere stories live. Discover now