Part 1

97 9 21
                                    

Happy reading!

backsound: Gita Gutawa - Aku cinta dia

--

Juni 2008

Kara

Akhirnya kenaikan kelas tiba juga. Rasanya aku masih seperti mimpi, dimana aku akhirnya naik ke kelas 11 dan sebentar lagi selangkah lagi aku akan masuk ke universitas. Ayah, Bunda dan semuanya pasti senang bukan? Apalagi kalau aku bisa mengikuti jejak Ayah.

Ah rasanya berat ya? Dimana Ayah membedakanku dengan kakak dan adikku perkara keinginanku yang menjadi dokter seperti beliau dan aku harus bekerja keras kalau bisa malah mendapatkan peringkat yang pertama sejak sekolah dasar. Namun, kenyataannya aku bukan anak yang pintar diatas kertas aku selalu tidak berhasil mendapatkan peringat pertama hanya sebagai peringakt yang baik. Aku memang tidak sepintar kakak laki-lakiku yang selalu mendapatkan peringkat pertama di kelas dan menjadi kebanggaan Ayah. Begitulah diriku, aku lebih suka dibilang cerdas ketimbang pintar.

Aku duduk di lorong ruang kelasku yang bertuliskan "10-5". Hari ini hari pembagian rapot aku berharap nilaku cukup untuk membawaku ke kelas IPA seperti impianku dulu. Kalau di tanya saat aku kecil hingga saat ini apa impianku? Aku ingin menjadi dokter. Seperti Ayah yang selalu mengabdikan diri kepada masyaraka akupun ingin mengabdikan diriku kepada masyarakat luas.

"Kara?" panggil seseorang dengan suara familiar.

Aku mendongak, didepanku sudah berdiri seorang pria berseragam putih abu-abu. Rambut hitam klimisnya membingkai wajah ovalnya dengan perpaduan mata hitam bak batuan onxy yang cantik dan kulit kuning langsat siapapun akan terpana melihat dia

"Kak Satria?" sahutku

Ya, dia Kak Satria. Tidak maksudnya Satria. Kakak kelasku. Kakak kelas yang menolongku saat aku pingsan ditengah-tengah gilanya kegiatan MOS[1] dulu. Kakak kelas yang dengan suka rela mau mengajarkanku mata pelajaran Fisika yang sebenarnya aku benci banget si eh nggak, aku lebih benci ekonomi si ketimbang Fisika tapi aku tidak paham Fisika karena guruku itu mengajar ala dosen ketimbang seorang guru. Tapi sepertinya kalau aku masuk IPS bau-bau terdaftar sebagai angkatan verteran alias nggak naik kelas.

Dan hanya Satria yang melihatku sebagai diriku sendiri, tanpa membawa embel-embel Mas Saka. Aku ya aku, Mas Saka ya Mas Saka. Aku tahu, Mas Saka sangat membanggakan tapi aku tidak mau dianggap hanya mendompleng nama Mas Saka di sekolah ini.

"Sendirian?" tanya Satria.

Aku menggeleng. " Sama Bunda. Bunda di dalam si, dan kayanya di dalam lagi ada rapat sama Bu Wali Kelas."

Ia tersenyum "Jadi, gimana hasilnya?"

"Ih!" erangku. "Aku belum tahu, Kak."

Satria menarik dirinya untuk duduk di sampingku. Ia menatapku dan kalian tahu? Aku paling nggak bisa kalau Satria kaya gini

"Semoga nilai Fisika kamu baik." Ia tersenyum. "Jadi bisa masuk IPA terus jadi dokter."

"Aamiin. Semoga doa Kakak terkabul." Aku tertawa canggung. "Gimana kak, hasil Ujian Kakak?"

"Belum keluar, Ra." Sahut Satria. "Doain ya? Semoga aku lolos."

"Aku pasti doain Kakak!" seruku. "Semoga Kakak masuk PTN dan jurusan yang Kakak inginkan."

"Amin." Satria mengelus pipiku. "Kamu juga ya, semoga nanti bisa lolos ujian. Jangan lupa terus belajar."

Kesunyian menghampiri kami berdua. Hanya terdengar deru napasku yang semakin lama semakin memburu karena harus berdekatan dengan Satria. Hingga kesunyian diantara kami terpecahkan karena ulah Snorlax sialan.

VoicelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang