Part 4

25 2 0
                                    

Happy reading!

NP: Marcel- takan terganti

--

Desember 2016

Baskara

Tahun demi tahun berganti. Sejak kejadian di hari terakhir aku bertemu dengan Kara dan aku tidak sengaja menciumnya. Aku tidak pernah punya nyali menyapanya walau sekedar 'hai, gimana kabarnya? Lo sehat kan, Ra? Gimana Kuliahnya?'. Iya, memang pertikaian kami saat masa sekolah sudah redah sejak hari itu dan kini kami berteman di sosial media tapi aku maupun Kara tidak pernah bertegur sapa satu sama lain.

Sore itu di hari pengumuman kelulusan saat aku mengatakan maaf kepadanya dan mengajukan diri sebagai teman namun Kara tidak menjawabnya. Dan sebelum hal itu, aku melakukan kesalahan fatal. Aku menciumnya dan aku mengajukan proposal untuk mengajaknya menikah. Namun, ia hanya diam menatapku hingga semua orang akhirnya menemukan kami dan membantu kami untuk keluar dari jebakan itu. Aku masih ingat ketika kedua mata cokelat susunya yang cantik itu menatapku sangat dalam seolah menyiratkan sebuah isyarat. Isyarat takut kehilangan? Entahlah, tapi hingga saat ini aku benar-benar tidak punya nyali untuk bicara dengannya hingga detik ini.

Hampir enam tahun aku habiskan untuk menyibukan diriku di Bandung. Iya, setelah perjalan panjang akhirnya Papa menyetujuiku untuk masuk ke ITB mengejar cita-citaku sebagai Arsitek seperti keinginanku sejak kecil. Aku terlalu sibuk mencari kegiatan demi berusaha melupakan pikiranku soal Kara bahkan aku pun beberapa kali mencari wanita penganti Kara. Namun semuanya sama saja, otak dan pikrianku sudah tersetting untuknya. Aku selalu gagal melupakannya, dan lagi-lagi hanya namanya yang aku sebut dalam doaku.

Kara memang terkadang menjadi alasanku untuk bertahan namun ia juga menjadi alasanku menyerah aku benar-benar tidak bisa menghapus bayangnya walau sedetik saja. Rasanya aku ingin lari keujung dunia demi menghapus pikiranku tentangnya karena aku tidak mungkin bisa bersama dengannya. Aku tahu, ia pasti masih menyimpan rasa benci denganku.

Dan hari ini, di akhir bulan pada tahun ini aku terpaksa pulang ke Jakarta karena aku mendapatkan kabar bahwa Papa harus masuk rawat inap karena serangan stroke riangan. Aku yang baru perlahan namun pasti berusaha hidup mandiri tanpa bantuan Papa dan Mama sebagai usahaku untuk melupakan Kara di kota orang lain pun mau tak mau harus menuruti keinginan kedua orang tuaku untuk pulang.

Hubunganku dan Papa berjalan datar pada awalnya sejak aku mentekatkan niatku untuk masuk ke Arsitek ITB. Aku semakin lama kehilangan sosok Papa karena menurut Papa aku sangat membangkang. tapi walau aku juga terpaksa lulus tidak tepat waktu karena banyak hal yang aku lewati tapi lambat laun berkat usahaku membuktikan aku bisa sama baiknya dengan Mbak Ika akhirnya Papa memberikan aku dukungan untuk lekas lulus dan menjadi Arsitek sesuai memimpiku. Ia pun mau menghadiri wisudaku yang diadakan pada bulan Juli tahun lalu dan rasanya tidak ada yang lebih bahagia selain akhirnya aku merasakan kehangatan dari sosok Papa yang sempat hilang karena kami berselisi paham sejak aku duduk dibangku SMA dulu.

Diawal tahun ini pun, Mbak Ika yang sedang mengambil pendidikan dokter spesalis saraf-nya itu dipinang oleh seorang pria yang berprofesi pengusaha. Sungguh tahun yang penuh kejutan bukan? Kabar baik dan kabar buruk seolah menjadi santapanku ditahun ini. Tapi... ada sesuatu yang kurang. Iya karena aku tidak tahu bagaimana kabar Kara. Apakah dia sudah selesai kuliah? Sosial medianya jarang sekali mengekspos tentang dirinya hanya puluhan foto pria korea alias Oppa-oppa yang menghiasi lini masa sosial medianya.

Aku berjalan menuju ruang rawat inap Papa. Terlihat pintu kamar rawat inap Papa sedikit terbuka dan terdengar sayup-sayup suara percakapan dari ruang rawat inap Papa. Walau ragu, aku mencoba melangkah masuk dan mencari tahu apa yang terjadi.

VoicelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang