09

155 18 13
                                    

Setelah peristiwa yang terjadi di kantin, Musfira menyeret Lakuna kembali ke kelasnya dengan perut kosong. Lakuna yang ditarik kasar hanya pasrah walau sesekali berdecak kala keduanya jadi tontonan penghuni sekolah yang berlalu lalang. Akhirnya setelah melewati banyak rintangan, mereka sampai di depan pintu kelas 12 IPA 3. Saat memasuki kelas, pernyataan dari seseorang menyambut langkah mereka berdua.

"Ya, pemirsa ... korban bully an telah memasuki kelas ...."

Musfira menarik Lakuna ke meja mereka lalu duduk. Dia memukul meja dengan emosi.

"Bangsat banjingan babi anjing setan kampret kon---"

Lakuna berdehem menghentikan sumpah serapah Musfira.

"Jangan hentiin gue, Na. Gue harus ngeluarin semuanya daripada gue dendam," tegur Musfira menatap Lakuna.

Lakuna menjadi bungkam.

Seorang cewek dengan rambut diikat mendekati meja mereka. Ia duduk di salah satu kursi depan mereka berdua. Beberapa yang lain juga ikut duduk. Mereka semua menatap Musfira dan Lakuna.

"Jadi, apa permasalahannya?" tanya ia memulai pergosipan.

"Biasa, kasta. Mereka pengen kasih tahu perbedaan antara orang miskin dengan orang kaya. Sialnya, gue dan Lakuna yang jadi tempat mereka ngasih tahu!" bentak Musfira emosi.

Yang lain ngangguk-ngangguk.

"Terus terus?"

Musfira menjawab, "Nabrak!"

"Rem bego!" sahut Rian.

"Lo nguping, ya?" tuduh Musfira disambut cengiran khas dari Rian. "Cowok kok ikutan gosip. Ganti kelamin sana!" ujar Musfira pedas.

"Kalo gue ganti kelamin, ntar gak ada lagi yang mau sama lo."

Musfira mendengus mendengar kalimat dari Rian. "Kek lo mau aja sama gue!"

"Emang iya."

Musfira tahu bahwa cowok itu sedang menjahilinya. "Bacot!"

Lakuna hanya diam menatap mereka.

"Sorry, ya ... kita gak bisa bantu lo berdua. Lo tahu kan alasannya apa?"

Perempuan berambut pendek itu mengangguk sembari tersenyum cerah. Senyumnya seolah-olah berartikan dia baik-baik saja.

"Gapapa, gue paham kok." Musfira tahu persis maksud dari temannya itu. Mereka tidak punya apa-apa tidak akan mau berurusan dengan mereka yang punya apa-apa. Mereka sadar bahwa mereka orang miskin akan selalu kalah dengan mereka yang kaya.

Musfira menoleh ke samping menatap Lakuna. "Iya 'kan, Na?"

Lakuna ditanya seperti itu hanya mengangguk sebagai respon. Sebenarnya, dia tak membutuhkan bantuan mereka dan juga tidak peduli apakah mereka membantu atau tidak.

"Ngomong, Na. Ngomong!" Musfira kesal. Dia masih mengingat kejadian yang terjadi di kantin. Entah ia trauma atau apa, yang pasti dia tak ingin melihat Lakuna yang seperti itu lagi.

"Hm."

Singkat sekali. Ujung bibir Musfira berkedut keras karena merasa jengkel.

"Terser---"

"Panggilan untuk siswi bernama Lakuna Ashalata dan Agunia Musfira untuk segera ke kantor. Sekali lagi, panggilan untuk siswi bernama Lakuna Ashalata dan Agunia Musfira untuk segera ke kantor. Sekarang!"

"Drama dimulai ...."

Semua terkekeh.

Lakuna berdiri diikuti Musfira. Mimik Lakuna datar berbeda dengan Musfira yang menunjukkan mimik kesal. Mereka berdua serentak berjalan keluar menuju kantor. Selama perjalanan, Musfira tak hentinya mendengus. Kedua tangannya mengepal kuat seakan ingin memukul seseorang.

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang