36

40 7 8
                                    

Lakuna langsung menoleh tapi tidak dengan Panacea yang masih menangis. Di depan pintu, seorang laki - laki yang tak lain adalah Riski, menatap mereka berdua dengan tatapan mengejek. Bibir laki - laki itu tersenyum miring.

Di dalam hati, Lakuna mengumpat.

Riski terkekeh. "Baru pertama kali gue liat cowok nangis, anjir!" ucapnya.

Kedua tangan Lakuna mengepal kuat. Perkataan dari Adiknya adalah sebuah ejekan. Diliriknya Panacea yang kini terisak. Sekali lagi, Lakuna mengumpat.

"Kenapa kamu ada di sini? Ibu dan Bapak, kemana?"

Senyuman Riski semakin lebar mendengar pertanyaan dari Kakaknya.

"Kamu? Tumben." Kening Riski berkerut dengan mata melebar seolah kaget. "Biasanya lo - gue. Lagi pencitraan, ya?"

Lakuna dengan sekuat tenaga menahan diri untuk tidak berkata kasar. Bukan tanpa alasan, dia tak mungkin membeberkan kehidupan aslinya di depan Panacea yang mana diketahui adalah orang asing.

Tersenyum paksa perempuan itu ke Riski. "Mending kamu masuk, aja. Apa gak kedinginan?"

Riski akhirnya tertawa. Tawanya begitu keras hingga menarik atensi dari Panacea.

"Mending lo gak usah pencitraan, deh. Gak usah berlagak seolah - olah kita berdua akrab. Kalau lo lakuin itu cuma karena ada tuh cowok lemah, gue cuma mau bilang, lo najis, sumpah!"

"Brengsek!" Lakuna membentak. Dia sudah tak tahan dengan tingkah Riski yang semakin lama semakin kurang ajar dan tak tahu tempat. Selanjutnya, perempuan itu membalikkan badan menatap Riski dengan tatapan tajam dan benci.

Tawa Riski sudah berhenti. Sekarang, laki - laki itu tersenyum miring, lagi.

"Nah, kayak gini kan enak liatnya," katanya. Dia menatap Panacea yang juga sedang menatapnya dengan kening berkerut.

"Kamu siapa?" tanya Panacea membuka mulut.

"Gue Riski, adeknya Lakuna," jawab Riski, "lo siapa?" sambungnya bertanya.

Panacea mengangguk kemudian berjalan mendekati Riski. Laki - laki polos itu menyodorkan tangan kanannya bermaksud salaman.

"Aku Panacea Oktavio, calon pacar Kakak kamu," jawab Panacea percaya diri.

Riski kembali tertawa. "Apa? Calon pacar?" Dia melirik Lakuna kemudian kembali tertawa. Tawa yang penuh ejekan.

Rahang Lakuna mengeras. Dia sangat malu sekarang. Sedangkan Panacea heran sambil menurunkan tangannya. Kepalanya penuh tanda tanya. Apa yang salah dengan ucapannya?

"Gue gak tahu lo, Kak, kalau tipe cowok lo itu kayak gini. Udah lemah, cengeng, sok polos lagi. Najis banget, bikin jijik. Lagipula, bukanya Bapak ngelarang lo deket sama cowok??!"

Ucapan Riski penuh penghinaan. Dia dengan terang - terangan menghina Panacea di depan Lakuna.

"Bukan urusan lo, bangsat!"

Refleks, Panacea menatap Lakuna. Dia kaget bukan main mendengar kata kasar keluar dari bibir perempuan itu. Dilihatnya, kedua mata Lakuna merah, giginya gemeletuk dengan tubuh gemetar seolah menahan amarah yang begitu besar. Sesaat, Panacea tertegun karena untuk pertama kalinya dia melihat Lakuna menampilkan ekspresi seperti itu. Selang beberapa menit, dia kembali menatap adik Lakuna yang ia tahu namanya Riski.

"Kalian saudara kandung?"

Pertanyaan itu meluncur dari mulutnya. Dia tidak peduli dengan hinaan dari adik Lakuna sebab yang penting sekarang adalah jawaban dari pertanyaannya.

"Telinga lo masih berfungsi, 'kan?"

"YANG SOPAN! DIA LEBIH TUA DARIPADA LO!"

Panacea terlonjak kaget. Bentakan disertai teriakan dari Lakuna membuat detak jantungnya berpacu cepat. Tanpa sadar, dia meneguk ludahnya kasar. Sungguh, untuk pertama kalinya dia melihat Lakuna seperti ini.

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang