20

108 10 8
                                    

"Jadi, kita ngapain sekarang?" tanya Musfira yang sedang duduk di bawah pohon bersama Lakuna dan Panacea. Dia duduk di tengah-tengah mereka.

"Pulang."

"Jajan."

Mendapat jawaban yang berbeda membuat Musfira bingung namun jauh dari lubuk hatinya, dia memilih jawaban kedua.

"Gue belum mau pulang, Na." Dia menoleh ke Lakuna kemudian beralih menatap Panacea.

"Gue gak ada uang. Ah, lebih tepatnya, kami berdua gak punya uang."

"Aku yang bayar," ujar Panacea.

Kedua mata Musfira berbinar, lalu kembali menatap Lakuna.

"Gimana?" Dia berbisik.

Lakuna menggeleng sebagai respon. Sebagai orang yang memiliki harga diri tinggi dan paham etika, sudah pasti dirinya menolak. Lagipula, dia tak ingin ada hutang budi berbentuk materi. Dia takut jika suatu saat nanti, ia akan ditagih dimana posisinya sedang tak memiliki apa-apa.

"Ayo, pulang."

Musfira mendengus sebal. "Lo kenapa sih daritadi pengen pulang? Lo punya suami nunggu di rumah?"

Tatapan Lakuna berubah menjadi tajam. "Memang salah kalau saya pengen pulang?"

Mendengar nada bicara Lakuna mau tak mau membuat Musfira meringis. Ah, sepertinya dia salah bicara.

"Gak salah sih," ucapnya. "Tapi ... lo tahu 'kan? Ituloh ...."

"Itu apa?" Tatapan Lakuna menjadi biasa kembali.

Kini, giliran Musfira yang menatap tajam Lakuna. Dia memberi kode lewat matanya karena tak ingin orang lain mengetahui jikalau dia berbicara menjelaskan pada sahabatnya.

Lakuna yang memang tidak peka untuk sekarang, semakin bingung. Dia tidak paham dengan gerak-gerik Musfira yang seolah memberitahunya sesuatu.

"Rumah," bisik Musfira yang hanya didengar oleh Lakuna.

Bibir Lakuna membulat lalu mengangguk.

"Kalian lagi bisikin apa? Aku, ya?"

Dua perempuan itu menatap Panacea bersamaan dengan mimik wajah yang berbeda.

"Gak usah pede, ya, Om. Situ gak ada hubungannya." Musfira memutar matanya malas. Sedangkan Lakuna? Hanya diam dengan bibir terkatup rapat.

Panacea mendengus. "Om? Aku masih muda, ya. Umur aku masih belasan dan status junior kalian."

Musfira mengibas-ngibas tangannya.

"Karena gue gampang lelah, gue mengalah."

Sunyi. Ketiganya kembali fokus ke pikiran masing-masing. Yang terdengar hanya suara mesin kendaraan yang berlalu lalang.

"Saya pengen makan Es Krim," celetuk Lakuna.

Panacea menoleh kanan kiri mencari penjual Es Krim. Namun nihil, dia tidak menemukan batang hidungnya.

"Gak ada penjual Es Krim, Asha."

"Fir," panggil Lakuna dengan mata menatap jalanan.

"Bentar!" Kedua tangan Musfira refleks memegang kepalanya seperti sedang menerawang. Lama terdiam, tiba-tiba dia menoleh cepat ke arah kanan.

"Di sana!" teriaknya sambil menunjuk. Dan benar saja, dari jarak 5 meter, seorang penjual Es Krim bersepeda ke arah mereka dengan sesekali berteriak.

Panacea melongo melihat itu. Bagaimana mungkin?

"K-kamu p-peramal, ya?" tanyanya terbata-bata.

Musfira menepuk dadanya bangga. "Gue orang pintar."

"Orang pintar?" Laki-laki itu mengerutkan kening. "Orang yang punya IQ tinggi?"

Ruang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang