39

52 4 8
                                    

Atsa dan Lakuna menoleh secara bersamaan. Jauh dari mereka berdiri, seorang laki - laki yang bernama Panacea berlari kecil ke arah mereka berdua dengan tangan kanan melambai. Akibat teriakan dari laki - laki yang sifatnya selalu kekanak - kanakan, kini mereka bertiga menjadi titik pokus semua orang yang berada di lapangan itu.

Lakuna membuang napas panjang. Dari sorot mata Atsa tersirat ketidaksukaan terhadap adik kelasnya itu namun orang - orang tak menyadarinya karena senyum manis laki - laki itu.

"Kenapa?"

Kini, Panacea berdiri di dekat mereka berdua. Senyumnya lebar sembari menyodorkan sebuah kertas ke arah Lakuna lalu ke Atsa.

Kening Lakuna berkerut. "Undangan?"

Panacea mengangguk. "Nanti malam ada acara di rumah aku. Jadi, kamu datang, ya!" balasnya semangat.

Lakuna ber-oh saja sebab ia belum yakin akan datang.

"Hanya itu??" tanya perempuan itu lagi. Panacea mengangguk sebagai jawaban kemudian beralih menatap kakak kelasnya yang tak lain adalah Atsa.

Laki - laki itu tersenyum manis hingga matanya menyipit. "Kakak juga jangan lupa datang, ya."

Atsa mengangguk. "Pasti dan terima kasih atas undangannya," ujarnya.

Panacea kembali mengangguk. "Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Aku masih mau sebar undangan ke yang lain," kata laki - laki itu lalu berbalik meninggalkan mereka berdua. Baru saja lima langkah, ia harus berhenti ketika suara Lakuna tengah memanggilnya.

"Panacea!"

Sontak, Panacea berbalik. "Iya, Asha?"

Lakuna terdiam sebelum kemudian menarik napas. "Untuk yang kemarin, saya meminta maaf." Perempuan itu sedikit membungkuk.

Panacea terdiam. Namun, itu tak bertahan lama karena tawa kecil keluar dari sela bibirnya. Lakuna mengangkat wajahnya segera.

"Gak apa - apa. Aku baik - baik aja, Asha."

Mungkin itu hanya sebuah kalimat biasa namun itu berefek besar terhadap Lakuna. Buktinya, pupil mata perempuan itu melebar. Entah karena terkejut atau tertegun, mulut perempuan itu tertutup rapat. Jantungnya berdetak kencang.

"Lakuna?"

Lakuna terlalu lama terdiam sehingga ia tersentak kala sebuah tangan menepuk bahu kanannya. Kedua matanya berkedip berkali - kali setelah sadar. Matanya bergulir menatap Atsa lalu menatap Panacea yang juga sedang menatapnya dengan ekspresi bingung.

"T-terim k-kasih!" Lakuna mengucapkan dua kata itu dengan terbata - bata sebelum berbalik meninggalkan mereka semua.

Tanpa perempuan itu ketahui, pipinya sedikit memerah. Ke sepuluh jarinya yang bersembunyi di balik lengan jaket warna hitam miliknya, mengepal. Tangan itu sedikit gemetar karena baru saja mengalami sebuah sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, begitu asing.

Sedangkan di tempat lain, Panacea merasa aneh dengan Lakuna yang tiba - tiba pergi tapi ia tak terlalu peduli karena tak paham. Sedangkan Atsa yang memandangi punggung Lakuna yang perlahan menghilang dari pandangannya, menipiskan bibir tebalnya. Mungkin orang lain tak sadar, tetapi jika lebih pokus, kedua tangan laki - laki itu terkepal serta rahang yang mengeras. Bibir bervolume itu perlahan terbuka, menggumamkan sebuah kalimat yang hanya ia seorang mendengarnya.

"Jangan. Jangan jatuh cinta Lakuna."

***

Kegiatan belajar berjalan dengan baik dan tenang. Semua pelajar pokus ke arah guru yang sedang menjelaskan materi di depan papan tulis. Namun, itu tak berlangsung lama ketika suara bel tanda istirahat, berbunyi nyaring. Ntah dari kelas mana, sorakan kegembiraan terdengar samar - samar seolah mereka baru saja lepas dari sebuah penjara.

Ruang KosongOnde histórias criam vida. Descubra agora