41. Pulang

113 42 22
                                    

Aalisha baru saja sempurna mengatur napas ketika melihat sebuah tangan terulur ke arahnya. Tubuh besar Zeeb menghalangi sinar terik matahari siang yang menghalangi tubuh terlentang Aalisha yang tanpa tenaga.

"Kerja bagus," kata Zeeb.

Aalisha mengangkat salah satu sudut bibirnya, kemudian membalas uluran tangan Zeeb, menjadikannya tumpuan untuk duduk karena tubuhnya terasa begitu lemas kini.

"Terima kasih sudah meminjamkan senjata yang bagus." Mata tembaga gadis itu bergerak seiring tangannya yang meraih gading gajah, tergeletak di sisi kanannya. "Sepertinya agak cacat karena kugunakan untuk memecahkan banyak hal."

Zeeb terdiam sejenak membuat Aalisha nyaris merasa takut ia akan marah, tetapi perempuan itu justru kemudian ikut duduk di sisi kiri Aalisha, hanya berjarak sebuah pedang yang selalu Aalisha bawa ke mana-mana. Pedang milik Terra.

Pedang satunya lagi yang ia beli di dunia ini sudah patah saat bertarung tadi dan Zeeb yang melihat itu kemudian meminjamkan gading ini padanya. Padahal Aalisha tahu betapa Zeeb sangat menyayangi benda ini, tetapi sekarang malah ia kembalikan dalam keadaan berlumuran darah.

"Simpanlah," ucap Zeeb, membuat Aalisha spontan menoleh dnegan netra yang sempurna membulat.

Bukankah gading ini adalah barang Zeeb yang paling berharga? Terlihat seperti barang warisan turun-temurun keluarga atau semacamnya.

"Anggap saja hadiah dariku karena kinerjamu sangat luar biasa kali ini," lanjut Zeeb.

Mendengarnya membuat Aalisha malu sendiri, teringat atas apa saja yang telah ia lakukan selama menjalankan misi.

"Kau tahu, Zeeb? Rasanya aku ingin menghilang."

Aalisha menarik kedua lututnya untuk menenggelamkan wajah di sana. Tak lama, ia merasakan tepukan pelan di kepalanya, membuat Aalisha semakin mengeratkan pelukan di kedua kaki.

"Kita bisa pergi dari sini sampai kau merasa lebih baik," ucap Zeeb setelah keheningan yang lama.

Aalisha mengangkat wajah ketika Zeeb berdiri dan menepuk debu dari celana cokelatnya. Gadis itu kemudian bergegas ikut berdiri sewaktu Zeeb memutuskan untuk berjalan tanpa merasa perlu menunggu lama-lama. Aalisha tidak tahu ke mana Zeeb akan membawanya, tetapi di mana pun itu, akan lebih baik dari tempat ini.

Misi tingkat B yang baru saja rampung ini kebetulan masih ada di satu benua yang sama dengan akademi, salah satu misi langka akhir-akhir ini karena kebanyakan misi berlokasi di luar benua. Karena itulah Aalisha dan Zeeb tidak mengenakan seragam Tentara Langit, hanya membawa emblemnya ke mana-mana. Mereka sudah menginap di desa ini selama hampir sepekan hingga akhirnya objek-objek sumber masalah yang mereka cari tampak tepat pada dini hari tadi. Karena itulah Aalisha berlompatan ke sana ke mari untuk bertarung dengan kostum gaun tidur karena kebetulan bukan tugasnya untuk berjaga malam.

Aalisha jadi teringat saat ia pertama kali datang ke dunia ini, dulu. Rok sebetisnya ia robek agar memudahkan langkah saat bertarung dengan para perompak asing. Hari ini, gaun tidur Aalisha juga ia robek hingga di atas lutut dengan cipratan darah di mana-mana. Ia juga membawa-bawa pedang Terra, kecuali kali ini ia juga menggenggam gading gajah milik teman barunya yang ia temui di dunia ini.

Gadis itu menatap punggung Zeeb yang terus mengarahkannya menelisik masuk ke dalam hutan. Topografi hutan ini tidak seperti hutan lebat layaknya hutan-hutan di tengah dataran. Pohon-pohon tumbuh berjauhan layaknya pohon-pohon pinus, tetapi karena ini bukan dataran tinggi, jadi jelas pepohonan ini bukan pohon pinus.

Aalisha mengelap wajah dengan punggung tangan. Pipinya kering dan matanya terasa agak perih. Sepertinya bekas kucuran air mata yang tidak sempat ia bersihkan tadi. Mengingatnya membuat Aalisha malu sekali.

[Kami] Tentara LangitМесто, где живут истории. Откройте их для себя