Bab 1 | Aku ingin bersinar seperti para bintang.

105 8 6
                                    

Gandara

A novel by Zivia Zee

•••

Pernah sekali terlintas di pikiranku ketika kepak sayap burung melalui mataku yang tengah memuja langit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pernah sekali terlintas di pikiranku ketika kepak sayap burung melalui mataku yang tengah memuja langit. Sebenarnya, kebebasan yang kuidam itu sedekat jarak pandang ke jumantara. Maksudku, coba lihat ke atas sana. Langit itu luas melingkupi bumi seperti selimut tebal yang terbuat dari kapuk. Dan siapapun yang mendamba ketenteraman pasti mendapat sandaran kala melihat ke arahnya.

Seperti aku yang meringkuk tergugu di hamparan keramik dingin kamar mandi sekolah. Yang udaranya lembab dan temaram, yang dinding-dindingnya menggema kala aku merintih. Bertimbalan dengan gaung tawa Sarita dan teman-temanya kala mereka memukul dan menendangku sesukanya.

Tubuhku memang merasa sakit. Tapi pikiranku mengawang jauh saat mataku mengintip langit dari balik lengan yang memar kebiruan. Ada seberkas cahaya yang jatuh ke samping kepalaku saat itu, dan hangatnya seolah berkata ... tidurlah.

Tidurlah.

Biar rasa sakit yang mendera tubuh lemah itu dibawa pergi oleh buai mimpi. Dan kupandu engkau pada hangatnya ekstasi. Tempat di mana kamu hanya akan merasa ... tenang.

Kata-kata langit tiap aku bersemuka dengannya selalu bergaung dengan cara yang sama. Melantunkan kalimat-kalimat yang membujukku menyerahkan diri pada ketidaksadaran. Seperti saat seseorang menghirup ekstasi melalui hidungnya. Zat-zat adiktif itu akan merayumu melakukan hal-hal yang tidak akan pernah kau lakukan saat biasanya. Begitulah caraku tertidur tiap kali aku dirundung.

"Kamu bodoh, Irish. Kamu bodoh dan aneh." Sekali itu Kinara berkomentar kala aku menemukan diriku terbaring di ranjang UKS dua jam setelah aku dipukuli. Seragamku yang penuh jejak sepatu sudah berganti dengan seragam baru yang bersih. Aku menduga Kinara yang meminjamkannya dari cadangan OSIS, seperti biasanya. "Aku tidak pernah bertemu orang yang ketika dipukuli malah diam saja. Meringkuk di lantai sampai ketiduran. Tidak pernah kecuali kamu."

Aku memandanginya yang tengah membalik-balik majalah di kursi. Tersenyum pahit.

Ini bukan pertama kalinya dia bilang begitu. Hampir setiap kali gadis berkucir kuda itu menengokiku di UKS, dia selalu mengatakan hal yang sama. Aku mengerti tidak semua orang dapat memahami. Mekanisme pertahananku memang aneh. Namun, hanya itu yang bisa aku lakukan, bukan? Jika aku melawan, segalanya akan terasa lebih sakit.

Sedang aku hanya ingin semuanya cepat berakhir.

Kinara menutup majalah dan menempatkannya kembali ke atas nakas. Ia bangkit berdiri seraya berujar, "Kalau kmu sudah baikan, cari makan di kantin sana."

Gadis itu melenggang ke arah pintu keluar.

"Kinar." Buru-buru aku memanggilnya. "Makasih, ya."

Gadis itu setengah menoleh dengan tatapan dingin. "Buat apa terimakasih sama aku? Toh, aku nggak akan nolongin kamu meski kamu dibuli di depan mataku."

GandaraWhere stories live. Discover now