04.00

101 22 2
                                    

"Lo ngaco, kalau lo anak pungut berarti gue juga sama. Berhenti berfikir yang aneh-aneh, Li!"

Diam tak berguna berbicara pun lebih tak berguna. Lavender tau sekuat apapun dia meyakinkan adiknya, Lilac akan tetap dengan opininya.

"Oke, papa dan mama orang tua kita dan mereka gak mungkin benci sama kita, lo harus bisa satu pendapat dengan gue kali ini."

"Bukan kita tapi gue, Lav! Mama benci sama gue, di mata mama gue selalu salah, apa namanya kalau bukan benci, hah?"

"Lo Kakak gue, kan? Seharusnya lo yang bertanggung jawab bukan gue, Lav!"

"Tapi nama udah bilang kalau dia punya cara sendiri buat mendidik anak-anaknya." Kedua alis Lavender menyatu.

"Sampai saat ini gue belum ngerasain apa yang namanya didikan dari seorang ibu, Lavender. Apa gue harus mati dulu biar mama gak repot-repot benci sama gue?" pikirnya.

Suara itu hening, entah dua remaja yang sedang merenungi bacotan yang keluar atau memang sudah lelah. Namun, badan yang riang berganti lesu, menopang pada sofa abu-abu. Memegang dada yang entah apa gunanya, menarik udara masuk lewat bolongan hidung tapi sukar.

"Gak usah drama, Lav," peringat Lilac.

Diam.

Kakak Lilac merintih.

"Lo kayaknya nambah penyakit lagi deh, Lav. Lo gak dengar gue bilang gak usah drama?" Dua alis gadis itu bersatu.

"To-tolongin gu-gue, L-Lav."

Meskipun dialog putus, Lilac masih sadar gadis di depannya mengemis pertolongan.

"Lav, lo serius?"

"Sa-sakit, Li."

"Gue tau mana yang sakit beneran dan pura-pura doang."

Lilac masih menolak untuk peduli.

"To-tolongin gu-gue." Napasnya tercekat.

"Di sini gak ada papa, ya, jadi lo gak usah drama. Stop, gue benci lo yang kayak gini," herdik Lilac walaupun raut khawatir sudah ia perlihatkan.

Lavender tak membalas. Sekuat tenaga dia berusaha menghirup udara.

"Lav, yang bener aja!"

"Lavender! inhaler lo mana, kenapa gak lo bawa sih. Lo tunggu di sini, ya, gue panggilin mama bentar. Lo sabar, Lav."

Persetan soal seragam sekolah yang tak kunjung lepas. Persetan soal tubuh gemetar, takut yang menderu, suara yang kian sayu. Tidak penting! Lilac teriak, kuat sekali. Mengirim pesan pesan pada Grayson. Menjejerkan rasa yang belum binasa, takut saja.

🌸🌸🌸

Lilac tak henti-hentinya berdoa pada Tuhan, dia mondar-mandir di depan ruangan rawat kakaknya. Cemas, khawatir dan dibanjiri ketakutan. Ditambah lagi sang Mama yang tak henti-hentinya menangis di dekapan Grayson sambil berharap jika anak gadis keluar dengan keadaan selamat. Lavender sedang ditangani oleh dokter dan perawat, matanya tertutup sangat lemah, apakah ini salah Lilac?

"Kamu tenang, Lavender kuat, aku yakin dia baik-baik aja." Grayson mengelus punggung isterinya.

"Aku nggak bisa tenang kalau keadaannya seperti ini, Mas, aku khawatir sama Lavender," isak Violet.

"Lavender pasti akan baik-baik aja, Violet, aku bisa jamin itu. Anak kita kuat, dia akan kembali." Grayson masih menguatkan isterinya.

Violet berdiri dan berjalan cepat kemudian menarik anaknya—Lilac. Pipi gadis remaja itu tertoleh seteleh sang mama sengaja menamparnya dengan keras, seolah meluapkan emosinya di pipi Lilac. Pipinya terasa panas dan perih atau mungkin saja sudah ada bekas telapak tangan Mamanya di sana.

𝐃𝐔𝐏𝐋𝐄𝐗 𝐋 | 𝐒𝐄𝐋𝐄𝐒𝐀𝐈Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora