3. Bertahan atau Berhenti

67 11 6
                                    

Aku pernah baca sebuah buku yang di dalamnya terdapat sebuah kalimat bahwa kita memiliki pilihan untuk tidak mendengarkan pendapat mereka dan belajar untuk bodoh amat. Di sini aku setuju apalagi konteks pendapatnya itu menjatuhkan. Karena memang mereka enggak tahu apa yang kita alami untuk bisa berhasil bertahan sampai di titik ini.

Jatuh bangunnya kita, usaha kita, sakitnya kita menghalau pikiran-pikiran negatif, mereka sama sekali enggak tahu. Apalagi introvert seperti aku yang enggak bisa cerita ke banyak orang. Jadi, kalau mau kasih pendapat ke orang lain, saranku di pikirin lagi ya. Jangan malah jadi toxic.  

Mengingat percakapan singkat kemarin, itu kujadikan motivasi kecil untuk maju

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.


Mengingat percakapan singkat kemarin, itu kujadikan motivasi kecil untuk maju. Toh, aku juga berniat mencari kesibukan selain nulis. Singkat cerita aku berhasil mendapatkan aktivitas baru. Aku banyak mengikuti webinar-webinar tentang kesehatan mental, mendengarkan podcast yang berkaitan dengan mental health (depresi, burnout, stress, dll), membaca beberapa buku non fiksi (cerita self healing, psikologi, self improvement), sampai ikut kelas psikologi selama sebulan. Di sana selain aku menambah ilmu, aku juga menjadikannya proses untuk penyembuhan. Selama melakukan itu aku happy. Karena aku bisa bertanya tentang gimana cara menghilangkan overthinking dan ekspektasi yang kualami waktu itu.

Ada kemudahan, ada kesulitan.

Ada positif, ada negatif.

Ada baik, ada buruk.

Semua hal yang kita lakukan ada konsekuensinya. Enggak melulu sesuai dengan ekspektasi. Tapi balik lagi, rencana Tuhan memang paling indah. Tinggal kita pilih, mau bertahan melanjutkan apa yang sudah dikerjakan atau berhenti dengan hasil separuh jalan. Tapi... kalau malah bikin bertambah buruk kondisimu, tinggalin!

Enggak lama setelah kelas psikologi, aku sengaja melamar sebagai volunteer. Masih berkaitan dengan mental health. Awalnya oke nih, aku berasa punya pengalaman baru. Aku belajar gimana cara memimpin divisi, membaca cepat, melatih mimik wajah, dan berani untuk speak up. Tapi lama kelamaan kok aneh, kayak kerja rodi. Enggak ada istirahatnya. Gila! Ini enggak bisa dibiarin. Toxic banget. Masalahnya bukan aku saja yang menjadi korbannya. Teman-teman yang lain pun merasakannya.   

Aku cerita ke keluargaku. Mereka menyuruhku untuk berhenti karena memang fisikku enggak kuat dan gampang stress. Benar ini bekerja di bidang mental health, tapi kalau kesehatan mental para stafnya sakit kan enggak lucu. Mending aku sakit karena ngejar deadline naskah daripada ngejar pahala tapi dari belakang gibahin orang. Dan kalau kata ayahku, ditawar aja enggak apa-apa kan cuma volunteer. Err, tapi atasannya itu lho yang ... ah, sudahlah.

Aku selalu minta dikuatin Tuhan untuk tetap bisa bertahan sampai akhir. Aku bolak-balik Bogor-Jakarta cuma buat melaksanakan tugas akhir divisiku yaitu dengan memberikan penyuluhan ke sekolah. Setelah tuntas, aku beraniin speak up ke atasan nyampein semua keluhanku karena memang enggak jelas. Salah dikit saja, dikasih surat peringatan. Sengaja aku abaikan. Aku hanya butuh istirahat. Sehari saja. Aku lelah. Tapi apa yang aku dapat? Maka, sehabis itu aku out dari sana. Aku blokir nomor kontaknya beserta media sosialnya.

Aku memutuskan untuk berhenti. Aku ingin sembuh, tapi bukan dengan cara ini.

Oh ya, aku ingat ada postingan ini di Instagram.

Blokir/Unfriend/Unfollow/Left Grup Jika Perlu

Umar bin Khattab RA berpesan: "Jauhilah semua hal dan semua orang yang menyakitimu. Berkawanlah dengan sahabat yang baik meski engkau sulit menjumpainya. Mintalah saran kepada orang yang memiliki rasa takut kepada Allah."

Tuhan, aku boleh egois kan?

CATATAN SEORANG DIFABELМесто, где живут истории. Откройте их для себя